Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. A. Yani No. 70 Bogor
Email: syahyuti@yahoo.com
(Terbit dalam majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 30 No.2 Desember 2012)
Abstrak
Penjelasan tentang bagaimana petani menjalankan
usaha pertaniannya selama ini terperangkap hanya pada teori dan analisis organisasi.
Berbeda dengan ini, tulisan berikut menggunakan konsep dan teori dari pemahaman
Kelembagaan Baru (New Institutionalism),
dengan menjadikan relasi sosial (social
relation) sebagai objek yang paling pokok dan elementer dalam analisisnya.
Melalui paham ini ditemukan pola pengorganisasian yang khas pada petani di
Indonesia saat ini yakni gejala “individualisasi organisasi” yang merupakan
fakta sesungguhnya dalam organisasi-organisasi formal milik petani. Gejala ini
tidak terlihat jika menggunakan analisis organisasi. Sesungguhnya bentuk ini berakar
dari pola pengorganisasian diri petani dahulu sebelum dikenal organisasi formal,
yakni “pengorganisasian secara personal”. Kedua temuan ini muncul dengan
menggunakan basis pemahaman bahwa petani adalah aktor sosial yang
rasional-kreatif yang menggunakan berbagai sumberdaya lembaga dan organisasi
sebagai modal dalam menjalankan usahanya. Ke depan, pemberdayaan petani
semestinya memberi peluang kepada bentuk-bentuk lain selain organisasi formal, karena
relasi sosial yang efektif tidak hanya berlangsung dalam organisasi formal.
Kata kunci: lembaga, kelembagaan,
organisasi, pengorganisasian diri, pengorganisasian secara personal,
individualisasi organisasi, petani
PENDAHULUAN
Akibatnya, kegiatan pemberdayaan dengan
berbasiskan teori tersebut mencapai hasil yang mengecewakan. Dalam
kenyataannya, kelompok-kelompok dalam kegiatan pemberdayaan tersebut tidak
berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan
program. Di negara berkembang umumnya, sangat jarang petani berada dalam
organisasi formal, dan jika pun ada kapasitas keorganisasian mereka sangat lemah
(Bourgeois et al., 2003). Kondisi ini
relatif serupa di banyak belahan dunia lain (Grootaert dan Bastelaer, 2001). Tidak
mudah membangun organisasi petani (Hellin et
al., 2007), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi
(Stockbridge et al., 2003).
Akarnya masalahnya adalah karena penggunaan
keilmuan yang basisnya kurang sesuai namun juga kaku pada diri pengambil
kebijakan dalam memandang masyarakat desa (lihat misalnya Chambers, 1987; Nordholt, 1987; Pakpahan, 2004). Padahal secara sosiologis, dalam setiap relasi
petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual dan relasi
dalam bentuk aksi kolektif. Relasi kolektif bisa dalam organisasi formal maupun
non formal. Namun, dalam ilmu pemberdayaan selama ini dibatasi hanya berupa
organisasi formal, sebagaimana mudah ditelusuri pada berbagai literatur maupun
produk kebijakan pemerintah. Pendekatan ini tidak mengakui rasionalitas petani.
Tulisan ini berupaya membongkar kerangka
pengetahuan ini dengan menggunakan pendekatan paham kelembagaan baru (new institutionalism) terutama dari
pemikiran Scott (2008), yang merupakan perkembangan terakhir dari ilmu
kelembagaan saat ini. Titik masuk dalam tulisan ini adalah konsep
“pengorganisasian diri petani”, yakni bagaimana petani menjalin relasi dengan berbagai pihak dalam menjalankan usaha pertanian di pedesaan selama ini.
Pengorganisasian dimaksud ditelaah dengan teori
”lembaga” (institutions) dan ”organisasi” (organization).
Kedua konsep ini dinilai paling dekat serta juga
cukup kuat kaitannya untuk menjelaskan fenomena ini. Penelaahan
harus masuk pada bagian yang paling elementer yakni individu dan relasi-relasi
yang terbangun. Organisasi hanyalah salah satu bentuk dari sekumpulan relasi.
Kelemahan analisis selama ini adalah karena berbasiskan kepada “organisasi”,
padahal organisasi hanyalah salah satu model jejaring relasi sosial.
Tulisan ini
merupakan review dari kajian teoritis dan praktek yang berasal dari berbagai sumber.
Narasi diawali dengan penjelasan konsep, lalu dilanjutkan pemaparan tentang
pengorganisasian diri petani dari dulu sampai sekarang, dan diakhiri dengan suatu
analisis.
KONSEP PENGORGANISASIAN DIRI PETANI, LEMBAGA dan ORGANISASI
Konsep Pengorganisasian Diri
Petani mengorganisasikan dirinya melalui beberapa
pilihan. Ia dapat masuk kedalam organisasi atau dapat pula tidak. Jika tidak
dalam organisasi, berarti petani mengorganisasikan dirinya di luar organisasi
dalam format individual action. Artinya, ia menggunakan relasi-relasi yang
berbasis pasar, bukan relasi berbasis organisasi (collective action). Petani memiliki kuasa dan mampu memutuskan
dengan siapa ia melakukan transaski dan menjalin interaksi untuk menjalankan
usaha pertaniannya.
Jadi,
pengorganisasian diri petani
pada hakekatnya adalah suatu jejaring
yang berisi sejumlah ”relasi
sosial” yang saling terhubung di sekitar diri seorang petani. Jejaring seorang petani mungkin sama polanya
dengan petani lain, namun orang-orang yang berada dalam jejaringnya dapat
sebagian sama dan sebagian berbeda, atau berbeda sama
sekali. Dalam setiap relasi sosial terkandung materi, dimana setiap relasi merupakan satu yang berpola, dijaga, diulang, dan dimantapkan
oleh petani dalam kesehariannya.
Pola
ini sama-sama berlaku sebenarnya baik dalam organisasi maupun di luar
organisasi, yakni pada sistem pasar. Pada seorang petani yang masuk ke dalam
organisasi formal sekalipun, ia tidak hanya berhubungan dengan sesama anggota
dan pengurus dalam organisasi tersebut. Ia juga tetap menjalin relasi dengan
orang-orang lain. Tidak ada petani di Indonesia yang seluruh hidupnya
dijalankan dan digantungan hanya pada organisasi formal. Yang terjadi justeru sebaliknya, meskipun
seorang petani telah masuk dalam organisasi formal, namun hampir seluruh
aktivitas agribisnisnya dijalankan dari relasi dengan orang-orang di luar
organisasi. Artinya, ia tetap mengandalkan pada individual action, bukan pada collective
action.
Meskipun secara
administratif sudah jutaan petani masuk ke dalam organisasi, namun
sesungguhnya tidak aktif (Bourgeois et
al., 2003). Hampir semua urusan pertanian mulai
dari memperoleh sarana usaha sampai dengan pemasaran, lebih sebagai
tindakan-tindakan individual. Meskipun menjadi anggota, mereka tidak
mengandalkan organisasi, karena tahu tidak banyak yang bisa diharapkan dari
kemampuan organisasi selama ini.
Sementara, keorganisasian
(organizational) adalah hal-hal berkenaan
dengan organisasi. Disini tercakup misalnya perihal kepemimpinan dalam organisasi, keanggotaan,
manajemen, keuangan organisasi,
kapasitas organisasi, serta relasi dengan organisasi lain.
Konsep Lembaga dan Kelembagaan
Pertama, basis relasi patron-klien. Hubungan patron
klien adalah pertukaran hubungan antara dua peran, yang melibatkan seorang
individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan
pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih
rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan
bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya (Scott, 1993). Hubungan patron-klien ini misalnya ditemukan pada masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan (Putra, 1988), yakni antara “Karaeng” sebagai patron dan “Ana-Ana” sebagai klien; juga di Jawa Barat yakni
pada masyarakat suku Sunda (penelitian Adiwilaga dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984). Semenjak era Revolusi Hijau tahun 1980-an, pranata distributif dan hubungan patron klien ini telah melemah (Wahono,
1994), yang
diindikasikan oleh penerapan upah uang tunai dan sistem “tebasan” dalam kegiatan panen.
Kedua, relasi
berbasiskan sentimen kekerabatan. Disamping patron-lien, eksis pula relasi
yang berbasiskan etika jaminan subsistensi berupa sentimen primordial. Hidup
berkelompok satu kerabat berdasarkan ikatan genealogis merupakan kelaziman,
dimana keluarga inti (nuclear family)
dan keluarga luas (extended family) merupakan
dua level kelompok sosial yang memiliki fungsi langsung dalam urusan mata
pencaharian anggotanya. Dalam kedua kelompok ini, terutama dalam keluarga inti,
setiap individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya untuk dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dan keamanan hidupnya (Koentjaraningrat, 1974).
Dalam suatu kelompok kekerabatan, mereka terikat
oleh suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah
harta produktif , harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu. Penelitian
Syahyuti (2002) pada masyarakat pinggiran hutan di Sulawesi Tengah menemukan
bahwa sentimen sesuku dan sub suku (suku Bugis dan Kaili) merupakan sumber daya
yang penting bagi petani untuk mendapatkan lahan garapan. Hal ini diperkuat
Shanin (1990) yang menyatakan bahwa pada eksistensi ”ekonomi peasant”, solidaritas keluarga
menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu, saling mengontrol dan
sosialisasi.
Ketiga, basis
sentimen teritoral. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Scott (1993) pada
masyarakat prakapitalis di Asia Tenggara, komunitas hidup sedesa menjamin
kehidupan minimum warganya melalui berbagai pengaturan yang mengedepankan prinsip mendahulukan
selamat (safety first), meskipun
tanggung jawab tersebut secara individual ada pada patron-patron yang ditekan
oleh lembaga desa sebagai pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di
Jawa ketika masih berbentuk “desa komunal” (Temple, 1976), yang menciptakan
jaminan kehidupan minimum bagi seluruh warganya dengan jaminan semua anggota
desa bisa mengambil bagian dalam proses produksi. Tjondronegoro (1974)
menemukan kondisi ini pada level yang lebih kecil yakni pada kesatuan hidup
sedusun (yang disebut dengan ”sodality”).
Ciri komunalitas hidup sedesa
sangat terasa, yang secara tidak langsung dibentuk oleh corak penguasaan
tanahnya yang juga komunal. Dalam
pola ini, petani penggarap menerima tanah desa atas
kesepakatan bersama para anggota masyarakat sedesa
(Brewer, 1985).
Keempat, pengorganisasian secara personal.
Pada banyak wilayah di pedesaan, ditemukan tipe pengorganisasian, dimana alih-alih
membentuk satu organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa orang
pengurus, masyarakat desa cenderung menunjuk satu orang untuk menangani satu
urusan yang berkaitan dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang
memberikan penugasan kepada satu orang dan melengkapinya dengan otoritas yang
penuh. Bukan sebagaimana organisasi formal dalam literatur, dimana ada
sekelompok orang dengan kekuasaan yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang;
pelaksanaan tugas hanya dijalankan oleh seorang belaka (“pengorganisasian secara personal”).
Hal ini menonjol dalam
pengelolaan air irigasi. Pimpinan subak di Bali, yang disebut dengan “pekaseh”atau “Klian Subak” mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan aturan yang ada (awig-awig) (Teken, 1988). Meskipun dalam
berbagai literatur,
seorang Klian Subak disebut dengan pimpinan atau Ketua Subak, namun posisi dan
kewenangannya tidaklah sebagaimana ketua dalam organisasi formal yang kita
kenal. “Organisasi” yang menata keseluruhan fungsi subak itu sendiri melekat hanya pada diri
seorang Klian Subak. Semua petani lebih mengenal dirinya, bukan pada
“organisasi” nya, meskipun ia juga dibantu oleh beberapa orang tenaga lain.
Pola seperti ini juga ditemukan pada sosok seorang “Ulu-Ulu” di
wilayah Jawa Barat, dan seorang “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat.
Dengan legalisasi dari seluruh petani di komplek persawahan tertentu, ia
berkuasa penuh dalam mengatur air, membaginya, menjaga saluran, dan bahkan
menghukum petani yang melanggar. Namun, Ulu-Ulu dan Kapalo Banda bukanlah
sebuah organisasi. Ia hanyalah seorang petugas yang diberi turgas dan
kewenangan mengelola pengairan pada satu wilayah persawahan. Meskipun ia memiliki
pembantu, namun tanggung jawabnya penuh dan langsung kepadanya belaka.
Saat ini, meskipun desa-desa di
Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun bentuk-bentuk basis relasi serta
pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walaupun terbatas. Pada waktu bersamaan, saat ini telah eksis pula organisasi-organisasi
formal petani, namun struktur dan kultur di dalamnya tidaklah sebagaimana pola
ideal secara teoritis.
Gejala
“individualisasi organisasi” pada organisasi petani merupakan gejala yang umum
dijumpai. Meskipun dari permukaan seolah
organisasi dijalankan sesuai dengan prosedur yang tertulis, namun sesungguhnya
hanya dijalankan oleh segelintir pengurus, bahkan cenderung hanya oleh satu
orang, biasanya adalah ketua organisasi bersangkutan.
Dalam aktivitas sehari-hari, bahkan
sering sulit memisahkan antara kegiatan pribadi ketua dengan kegiatan
organisasi. Artinya, berlangsung proses ”privatisasi” atau ”individualisasi organisasi” pada diri pimpinan organisasi. Organisasi menjadi identik dengan ketuanya belaka. Keberadaan dan eksistensi pengurus organisasi jauh lebih nyata
dibandingkan organisasi itu sendiri. Selain bahwa ketua lah
yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, keberhasilan sebuah organisasi juga
diidentikkan sebagai hasil
kerja keras si ketua belaka.
Dalam penelitian pada
petani di wilayah Jawa Barat (Syahyuti, 2012), petugas penyuluh lebih hafal
nama ketua kelompok tani dibandingkan dengan nama kelompok taninya. Jika ada
sesuatu yang harus disampaikan dan disikusikan, maka dengan
mengkomunikasikannya dengan ketua, dianggap telah mewakili
organisasi.
Jika ada masalah berkenaan dengan administrasi misalnya, petugas akan memanggil
dan mendiskusikan dengan ketua, bukan dengan sekretaris yang semestinya
bertanggung jawab. Ketua memahami posisi ini, dan ia menjalankan organisasi
dalam kerangka makna tersebut. Dalam persepsi ketua, maju mundurnya organisasi
tergantung pada dirinya. Demikian pula persepsi yang berkembang pada pengurus
dan anggota, dimana keberhasilan sebuah kelompok tani, sebutlah terpilih
sebagai kelompok tani teladan, semata-mata dipandang sebagai keberhasilan
ketua.
Gejala ini
terbentuk setidaknya karena empat alasan, yaitu: Satu, karena jumlah
dan tingkat tugas yang harus diemban cukup mampu dijalankan oleh satu orang
pengurus saja. Pada kelompok tani yang masih pemula misalnya, seringkali tidak
banyak aktivitas yang harus dilaksanakan. Selain itu, banyak keputusan
seringkali juga bisa ditetapkan sendiri oleh ketuanya tanpa mendiskusikan
dengan pengurus lain, mungkin karena sudah sejalan dengan misi dan aturan
kelompok tani, sehingga tidak perlu lagi didikusikan. Kewenangan yang ada
padanya cukup untuk mengambil keputusan langsung dan mandiri.
Aktivitas organisasi petani
cenderung sederhana dan sangat terbatas. Jika dikomparasikan dengan teori,
organisasi terlihat lemah dalam banyak sisinya misalnya dalam hal penyusunan perencanaan organisasi, pertemuan rutin,
pencatatan administrasi, keuangan
organisasi, dan kegiatan monitoring dan evaluasi
internal. Kinerja organisasi sangat
terbatas, dan aktivitas keorganisasian cukup mengandalkan kepada ketua dan
beberapa orang pengurus. Jika diukur menurut teori-teori organisasi, organisasi-organisasi
milik petani dapat disebut sangat lemah, bahkan bisa digolongkan sebagai “disorganized” atau 'not organized'. Pergantian pengurus
juga sangat jarang dilakukan, karena ada gejala dimana umumnya petani menolak
menjadi pengurus, bahkan cenderung takut (Syahyuti, 2010).
Jika dikembalikan kepada
indikator kemampuan kelompoktani yang saat ini
diterapkan di jajaran Kementerian Pertanian, maka kondisinya relatif lemah
untuk kelima indikator, yakni kemampuan merencanakan, melaksanakan, pemupukan
modal, meningkatkan relasi dengan organisasi lain, serta kemampuan menerapkan
teknologi. Selain secara
internal, kondisi organisasi milik petani lemah, jaringan antar organisasi juga
terbatas. Ini juga ditemukan Lema dan Kapange ( 2006) di Tanzania, dimana tidak
ada koordinasi antar organisasi petani (farmer
organization): “….. FO
tends to operate informally and do not comply with official legal requirements”
(p. 77).
Dua, pengurus dan
anggota memberikan kepercayaan penuh kepada ketua untuk memutuskan sendiri
dengan kewenangan penuh bagaimana berjalannya
organisasi sehari-hari. Nilai dan norma di masyarakat desa yang cenderung memiliki tingkat
kepercayaan (trust) tinggi menjadi
modal bagi ketua untuk menggerakkan organisasi. Sebaliknya, dari pihak pengurus
lain dan anggota, mereka percaya bahwa ketua adalah orang yang dapat dipercaya
dan mampu menjalankan organisasi ke arah yang benar. Alasan ini pulalah yang
dalam kasus tertentu menyebabkan terjadinya penyelewengan keuangan misalnya,
karena pengawasan (self critics) dari
pengurus dan anggota cenderung lemah.
Tiga, organisasi menerapkan prosedur
non formal. Hal ini ditemukan Bourgeois (2003) di Indonesia, yang juga
didukung temuan Lema dan Kapange ( 2006) di Tanzania,
dimana farmer organization (FO)
berjalan secara non formal. “FO tends to
operate informally and do not comply with official legal requirements” (p.
77). Secara sepintas, mereka menjalankan organisasi formal, namun jika digali
lebih dalam sesungguhnya banyak prosedur dan manajemen yang berbeda dengan
panduan formal semestinya.
Manajemen non
formal disini dimaknai
sebagai terciptanya prosedur dan struktur lain dalam organisasi formal namun
tidak mengikuti aturan yang ada atau tidak sebagaimana semestinya (merupakan
suatu mismanajemen). Hal ini terbentuk secara spontan (evolving constantly), berakar dari bawah (grass roots), dinamis dan responsif, memposisikan manusia sebagai
individual, bersifat datar dan mengalir (flat
and fluid), dan bertahan karena adanya kepercayaan dan resiprositas (trust and reciprocity). Respon ini
sesuai untuk situasi yang berubah cepat dan seringkali tidak mudah dipahami.
Empat, organisasi menerapkan kultur pragmatis. Pendekatan
yang kurang memberi kematangan proses organisasi menyebabkan tidak
berkembangkan kultur organisasi secara mandiri. Dalam dokumen-dokumen
organisasi, baik struktur, nilai, visi,
norma, maupun manajemen organisasi menggunakan pedoman yang sudah baku dan
bersifat umum seluruh Indonesia. Setiap
organisasi petani harus mengadopsi pedoman ini.
Namun, dalam perkembangannya, organisasi tidak menjalankan
organisasi sesuai dengan prosedur tersebut. Organisasi petani cenderung
mengembangkan kultur yang pragmatis (pragmatic culture). Kuatnya tekanan luar, sementara
permasalahan internal organisasi berkembang ke arah yang beragam, maka pengurus
organisasi menjalankan kultur yang cenderung kooperatif. Organisasi lebih
mengutamakan kepuasan pihak-pihak lain (their clients) terutama pemerintah, meskipun sesungguhnya tidak
mengikuti kesepatakan dan prosedur yang telah dituliskan dalam dokumen.
Peran aktor dalam organisasi dan fungsi bagian-bagian organisasi
telah bergeser. Respon seperti ini karena terlalu kuatnya tekanan lingkungan,
juga ditemukan Wijayaratna (2002) di Nepal, dimana organisasi-organisasi petani mengambil
sikap pragmatis (“form follow function”). Organisasi
melakukan adaptasi ketika terjadi
perubahan kondisi lingkungan sosial
dan kulturalnya. Ciri karakteristik organisasi dengan
kultur pragmatis ini adalah dimana hasil lebih diutamakan dibandingkan
prosedur, dan organisasi dipandang sebagai struktur network yang
mengalir (fluiding network structure). Organisasi melakukan adaptasi
terhadap tekanan dan kebutuhan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang
berlangsung.
Karakter non formal dan kultur
pragmatis terjadi karena begitu kuatnya tekanan lingkungan kepada organisasi,
terutama dari pihak pemerintah. Hal ini menyebabkan sempitnya ranah organsasi (organization field). Individualisasi
organisasi merupakan respon terhadap kuatnya tekanan tersebut, yang oleh
pengurus organisasi lalu dipadukan secara cerdik dengan kebutuhan internal,
atau setidaknya pemaknaannya (self
meaning) terhadap permasalahan dan kebutuhan internal organisasi.
Salah satu dampak dari individualisasi organisasi ini adalah organisasi biasanya langsung menurun kinerjanya jika terjadi pergantian
ketua. Bagi
anggota lain merupakan sebuah tindakan yang kurang beretika jika menggantikan
kedudukan seorang ketua yang dianggap telah banyak berjasa. Rasa sungkan dan
enggan menyebabkan sulitnya berlangsung reposisi dan regenerasi dalam
organisasi. Merupakan hal yang umum, dimana seorang ketua yang dianggap sukses
memimpin organisasi sampai belasan bahkan puluhan tahun (Saptana et al., 2003)
PROSES
EVOLUSI PENGORGANISASIAN DIRI PETANI
Kedua bentuk pengorganisasian diri di atas
sesungguhnya berlangsung sebagai sebuah evolusi yang terjadi secara kronologis.
Pengorganisasian secara personal berlangsung dahulu ketika belum
diintroduksikan organisasi-organisasi formal oleh pemerintah. Organisasi formal
diperkenalkan dan menjadi satu-satunya bentuk pengorganisasian diri petani
semenjak era Bimas sampai Insus dan Supra Insus, sehingga saat terakhir ini.
Selanjutnya individualisasi organisasi merupakan
sebuah gejala yang berlangsung setelah berbagai organisasi diperkenalkan dan
diintroduksikan. Ini merupakan reaksi kritis dari petani menghadapi keharusan
untuk hidup dalam organisasi. Format dan struktur organisasi formal dengan
segala etika dan prosedurnya tampaknya dinilai terlalu berlebihan oleh petani,
padahal urusan yang harus dijalankan tidak membutuhkan manajemen yang kompleks
tersebut (Saptana et al., 2003).
Jadi, urutan proses terbentuknya bentuk-bentuk
pengorganisasian diri ini adalah dimulai oleh bentuk pengorganisasian secara
personal, lalu diintroduksikan bentuk organisasi formal, namun akhirnya yang
banyak berlangsung secara riel adalah gejala individualisasi organisasi. Matrik
berikut memaparkan perbedaan ketiga karakter pengorganisasian diri tersebut.
Dari sisi alasan terbentuknya pola demikian,
terdapat alasan yang sama yakni kemudahan atau efisiensi. Dengan beban tugas
yang dipersepsikan tidak rumit, maka dengan memberikan tugas mengatur pengairan
hanya kepada seorang saja dipandang sebagai sebuah cara yang rasional. Demikian
pula dengan gejala mengapa akhirnya cukup seorang ketua kelompok tani saja yang
menjalankan kelompok tani. Disrtibusi kekuasaan pada hakekatnya adalah memusat (centralized), namun hal itu dipandang lebih menjamin
tersedianya pelayanan bagi anggota.
Tabel 1. Matrik perbedaan bentuk dan karakter antara pengorganisasian
secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi
Aspek
|
Pengorganisasian secara personal
|
Organisasi formal
|
Gejala individualisasi organisasi
|
Masa terbentuknya
|
Dahulu, sebelum
diintroduksikan organisasi formal oleh pemerintah
|
Masa revolusi
hijau, mulai dari era Bimas, Insus, Supra Insus, dan sampai sekarang
|
Setelah
diintroduksikan organisasi formal.
|
Alasan
terbentuknya
|
Secara alamiah,
dengan alasan efisiensi manajemen
|
Sesuai dengan
teori organisasi yang diadopsi oleh pemerintah
|
Merupakan
respon kritis terhadap format organisasi formal yang dipandang kurang sesuai
dan tidak efisien
|
Ciri
kepemimpinan
|
Mutlak, hanya
di tangan satu orang (mis. “Kapalo Banda” dan “Ulu-Ulu”)
|
Bersifat
kolegial
|
Secara faktual
bertumpu pada seorang pengurus organisasi saja
|
Distribusi
kekuasaan
|
Sentralisasi
pada satu orang penanggung jawab
|
Terdistribusi
antara ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan lain-lain pengurus
organisasi
|
Secara faktual
tersentralisasi, karena hanya dijalankan satu orang pengurus, biasanya ketua
organisasi
|
Peran dan sosok
pemimpin
|
Lebih sebagai
penerima beban dan penanggung jawab operasional
|
Demokratis dan prosedural sesuai AD dan ART
|
Kurang
demokratis dan tidak prosedural. Semua urusan ditangani sendiri, termasuk
peran pengurus organisasi yang lain
|
Posisi anggota
|
Petani adalah
pihak yang memberikan “tugas” dan menyerahkan kuasa penuh kepada pengurus
|
Kuat secara
administratif, sesuai dengan AD dan ART organisasi
|
Lemah dan
pasif. Anggota merasa berhutang budi kepada jasa ketua organisasi
|
Masa
kepengurusan
|
Lama, sering
tidak terbatas
|
Terbatas,
biasanya 3-4 tahun, sesuai dengan AD, ART dan rapat angota
|
Faktanya masa
kepengurusan lebih lama dari ketentuan, dan sering tidak diganti sampai
belasan tahun
|
Khusus untuk kepemimpinan, gambar berikut ini
memvisualisasikan kondisi yang terjadi. Pada bentuk pengorganisasian secara
personal, kekuasaan terbesar hanya pada seorang saja, yakni “Kapalo Banda”
atau “Ulu-Ulu”. Jika pun ada orang lain
yang membantu, posisinya adalah pembantu yang tidak diserahi beban khusus.
Seorang penjaga pintu air misalnya tidak dapat dimintakan tanggung jawab oleh
petani, karena ia bertanggung jawab ke atas yakni kepada “Ulu-Ulu” secara
penuh.
Gambar 1. Perbedaan posisi dan kuasa pemimpin pada bentuk pengorganisasian secara personal,
organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi
Petani
menghadapi tekanan formalitas (formalitas pressure) dalam hidup sehari-hari. Intervensi organisasi (organisational
interventions) memberi kerangka kepada perilaku petani . “…. like institutions,
organisations provide a structure to human interaction - but they are the
players of the game rather than the rules” (North, 2005).
Bagi petani, lingkungan formal tidak selalu merupakan kondisi yang
kondusif. Dalam posisi dimana sebagian besar petani tidak berorganisasi secara
formal, atau hanya organisasi yang belum kuat; maka lingkungan formal lebih terasa sebagai
mengucilkan mereka. Penelitian White (1997) di dua wilayah di dataran tinggi di Jawa
Barat menemukan bahwa pola relasi berupa kontrak
yang dijalankan dalam organisasi tidak selalu menguntungkan untuk
mereka, baik pada petani kelapa maupun peternak sapi perah.
Kondisi yang berlangsung merupakan hasil dari format politik
pertanian Indonesia yang mensubordinasi petani yang sejak dahulu. Pada era kerajaan, petani pada hakekatnya adalah “milik raja” yang bekerja di tanah
raja. Demikian pula di era kolonial, dimana bahkan petani harus menjadi
penyewa, karena semua tanah adalah milik pemerintah (Fauzi, 2002). Lalu, pada era Orde Baru dalamformat
modernisasi, petani
menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk industri (Martinussen, 1997). Sesuai dengan Martinussen (1997), organisasi telah dijadikan
sebagai alat atau wadah untuk berpartisipasi, namun dalam konteks untuk
memudahkan kontrol oleh negara. “… participation was carefully organized and
controlled (p. 232).
Fenomena ini sejalan dengan Teori Urban Bias dari Lipton (1977),
yakni adanya konflik antara rural classes
dengan urban classes, dan gejala “bureaucratic polity” (Jackson and Pye, 1978). Semenjak Orde Baru,
petani menghadapi kekuatan yang sulit dihadangnya. Hal ini dituliskan secara
jelas oleh Bourgeois (2003: 6), yaitu: “ Their aspirations,
what they would really like to achieve and how they would like to develop their
activities, are constrained by the fact that they face stakeholders
(government, traders) whose logics are different and prevail in the current
socio-political and economic system”. Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap pasif
pada petani, sehingga organisasi petani (rural
producer’s organization) yang
terbangun bukan merupakan ekspresi
diri petani itu sendiri.
Tanpa sadar berlangsung proses penghancuran komunitas karena
introduksi relasi-relasi formal ini (Saptana et al., 2003). Pada beberapa lokasi, khusus untuk organisasi yang dapat disebut
berhasil, antara pemerintah dan petani berhasil ditumbuhkan sikap kepemilikan
bersama (sense of shared ownership)
(Wijayaratna, 2002). Dalam kondisi ini, organisasi disadari oleh petani sebagai
“milik bersama” antara dirinya dengan pemerintah.
Sikap mengintorduksikan organisasi formal ke petani seperti ini
telah banyak menuai perdebatan. Dari penelitian pada lima kesatuan wilayah
irigasi (di Thailand, Myanmar, Vietnam dan Sri Langka), Perera menemukan bahwa
petani tidak berorgansiasi secara formal namun terbukti mampu mengelola
pengairan dengan efektif. “In many cases
they are not organization at all” (Perera, 2004).
RESPON RASIONAL-KREATIF PETANI TERHADAP
LINGKUNGAN KELEMBAGAAN SEBAGAI DASAR
TERBENTUKNYA PENGORGANISASIAN DIRI PETANI
Pada sebagian besar literatur, mengapa petani
memilih tidak berorganiasi selalu menyalahkan petani, yakni “karena kesadaran
yang kurang”. Jawaban ini datang dari sikap empati yang lemah terhadap petani,
dan censerung sepihak yang kaku dengan teori organisasi. Namun, disini penulis
mencari penjelasan penyebab ini pada diri petani sendiri sesuai dengan kondisi
yang dihadapinya. Sesuai konsep kelembagaan baru (Scott, 2008; Nee, 2005), petani
adalah aktor sosial yang rasional-kreatif. Petani diyakini mampu mengambil
keputusan apa yang terbaik untuk dirinya, yakni dengan siapa ia akan
berinteraksi dan bagaimana pola pengorganisasian dirinya sebagai keputusan
dirinya sendiri. Dalam menetapkan pilihannya, petani mempertimbangkan sekaligus
dan secara bersamaan antara tekanan pemerintah dan pasar, serta terhadap
komunitas.
Menghadapi lingkungan kelembagaan yang melingkupinya dan pemaknaan
aktif aktor terhadap lingkungan, melahirkan berbagai bentuk respon.
Tekanan
Formalitas Dari Negara, Norma Ekonomi Pasar, dan Norma Hidup Dalam Komunitas
Masyarakat dipenuhi oleh berbagai
aturan, dan manusia berperilaku dengan melihat pada aturan-aturan
tersebut. Manusia akan berusaha
memaksimalkan keuntungan untuk dirinya, dengan menggunakan atau berkelit dari
aturan-aturan yang ada tadi. Objek perhatian pada bagian ini adalah aturan (rule) yang ada, dan “keuntungan apa” yg
akan diperoleh pelaku dalam bertindak (Portes,
2006). Dalam perspektif ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang
rasional. Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat
bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas
dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada
aturan sosial yang hidup.
Selain pemerintah dan pasar,
petani juga mempertimbangkan norma hidup berkomunitas. Parsons menyebutkan bahwa ”sistem normalah yang mengatur relasi antar individu,
yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008). Pada prinsipnya, norma (how
things should be done) akan menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung
jawab dalam kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan
kita, dan bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi (constraint) sekaligus mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada
hakekatnya menjelaskan apa kewajiban bagi aktor (supposed to do).
Norma dapat menjadi sumberdaya yang kuat dalam menjalankan usaha
pertanian dan kehidupan. Norma merupakan jalan yang efisien untuk mencapai
kesejahteraan, mengatasi kegagalan pasar, dan menekan biaya sosial. Norma juga
dapat mengatasi permasalahan tindakan kolektif.
Norma-norma ini cukup bagi petani untuk menjalankan usahanya tanpa
membutuhkan organsisasi formal, yakni
berupa norma-norma kekerabatan dalam sentimen primordial, norma-norma hidup dalam
komunitas, norma-norma
berkenaan dengan relasi dengan orang luar terutama dengan pemerintah, serta norma-norma
berkenaan dengan relasi pasar.
Petani melakukan pemaknaan dan respon aktif terhadap aturan dan norma. Petani membangun sikap berbeda antara relasi dengan pasar dengan
relasi dengan petugas pemerintah. Komunikasi
pasar berlangsung melalui transaksi dengan harga sebagai message-nya, sementara negara
mengandalkan kepada otoritas dan power. Pasar memiliki legitimasi perhitungan komersial (comercial
imperative), bukan berupa imbauan moral (moral imperative). Implikasinya,
petani memenuhi tuntutan pasar dengan pragmatis, sedangkan untuk himbauan
pemerintah (misalnya himbauan untuk berorganisasi) dipenuhi sesuai dengan
tingkat pemaksaan yang dirasakan. “Pemaksaan” berorganisasi melekat pada
prosedur, dimana hanya melalui organisasi bantuan dari pemerintah bisa diterima
oleh petani.
Bagi petani, aktivitas
bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah
memberi cukup pedoman dan kesempatan. Dengan kegiatan
yang harus dijalankan dan pilihan yang harus diambil, tanpa berorganisasipun
petani merasa telah dapat menjalankan hidupnya. Intinya, bagi petani,
organisasi bukan lah social form yang dipandang lebih efektif dalam kehidupan sosial. Bagi petani organisasi bukan bentuk yang efektif.
Sebagi aktor yang rasional-kreatif realitas organisasi
bagi petani adalah bahwa organisasi sebagai wadah untuk berinteraksi dengan
pemerintah, sebagai suatu prosedur yang harus dipenuhi
untuk mengkases bantuan dari pemerintah, sebagai jalan untuk terlibat dalam pembangunan, dan agar dianggap
sebagai masyarakat yang partisipatif. Secara internal, organisasi juga dimaknai sebagai jalan untuk mengkolektifkan kegiatan secara horizontal. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta
seperangkat regulasi, menjadi pertimbangan petani untuk bertindak - atau tidak
bertindak - sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif).
Relasi Sosial Individual
Sebagai Inti Pengorganisasian Diri Petani
Sebagian besar petani saat ini menjalankan usaha
agribisnis yang dikelolanya dengan menjalin relasi-relasi yang berbentuk
“relasi individual” (individual social
relation) dengan berbagai mitra kerjanya, baik dengan pemasok input usaha,
butuh tani, dan pedagang pengumpul. Petani membuat
keputusan untuk berelasi dengan sejumlah aktor lain secara pribadi, tanpa
melibatkan kelompoknya. Selanjutnya, petani juga melakukan transaksi dan
menjaga relasi yang dibangun tadi juga dalam konteks keputusan individual.
Relasi-relasi individual tidak mengandalkan kepada organisasi atau
orang lain. Dalam konteks ini, petani
sebagai aktor sosial (social actor) tidak mewakilkan relasinya kepada pihak lain. Hal ini tidak
sebagaimana gambaran tindakan keloktif, dimana aktor mewakilkan tindakannya ke
orang lain. Tindakan individual (individual
action) merefer kepada tindakan yang diambil oleh seseorang yang idasarkan
atas putusannya sendiri.
Ada banyak alasan pokok mengapa petani lebih memilih tindakan atau
relasi individual. Alasan yang sangat masuk akal adalah karena ketersediaan relasi dimana pelayanan untuk berusahatani
sudah cukup memadai. Saat ini petani dengan mudah dapat membeli benih, pupuk
dan berbagai kebutuhan lain dari kios-kios yang menjualnya di desa maupun di
pasar terdekat. Petani dapat membayar tunai ataupun berhutang (pola “yarnen”)
terhadap barang yang dibelinya. Demikian pula untuk kebutuhan lain, misalnya
memperoleh air irigasi, mendapatkan buruh tani dan menjualkan hasil panennya.
Dengan demikian, petani yang menggunakan relasi individual dapat
dipandang sebagai hal yang rasional. Ke depan, jika pelayanan ekonomi untuk
usaha pertanian semakin mudah diakses petani, maka tipe relasi ini bisa semakin
berkembang.
Selain itu, alasan lain adalah
karena kondisi organisasi yang belum mampu mewadahi semua kebutuhan petani.
Lemahnya organisasi ini salah satunya karena semangat tindakan kolektif yang
rendah. Sebagaimana dalam teori, musuh utama sulitnya mencapai tindakan
kolektif adalah sikap penunggang bebas (free
rider). Fenomena ini juga banyak ditemui dimana maju mundurnya organisasi
cenderung diserahkan kepada pengurus saja.
Dalam kehidupan organisasi, beberapa relasi
merupakan relasi yang sifatnya hanya pendukung atau merupakan relasi yang tak
langsung, misalnya berupa rapat-rapat untuk menyusun perencanaan. Sementara
dalam pasar relasi bersifat langsung. Semua relasi sosial yang berlangsung di
pasar adalah relasi langsung belaka, dan tak ada yang percuma. Sebagai contoh,
petani menghubungi seorang pedagang untuk memberitakan bahwa ada gabah yang mau
dijualnya, dan langsung menegosiasikan harga. Relasi ini bersifat tuntas dan
ringkas.
Bahkan adakalnya sebagian
petani menggunakan organisasi untuk mendukung tujuan-tujuan individualnya. Hal
ini terjadi pada pengurus organisasi, yang karena kewenangan yang dimilikinya
dalam organisasi, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan relasinya dengan
berbagai pihak. Posisi sebagai ketua Gapoktan memberi keuntungan yang banyak
karena posisinya yang sentral, dan dapat pula berkomunikasi secara intensif
dengan banyak staf pemerintah. Sebagaimana dijelaskan di bagian lain, sumber
daya dari pemerintah merupakan sumber daya utama yang menggerakkan kegiatan
pertanian di desa penelitian.
Lembaga cukup bagi petani untuk mengorganisasikan dirinya. Lembagalah - bukan
organisasi – yang menjadi pedoman dan basis dalam membangun sejumlah relasi
sosial bagi petani untuk menjalankan usahanya. Meskipun ada belasan organisasi
dalam satu desa, tapi hampir semua relasi yang dijalankan petani, merupakan
relasi individual, bukan suatu tindakan kolektif yang diwakilkan kepada
organisasi.
Kondisi ini memungkinkan, sebagaimana pengalaman Lobo
(2008) dalam kegiatan lapangan, karena lembaga mampu dan lalu menjadi penting karena ia menentukan dan
membentuk bagaimana proses pertukaran dan intekasi sosial, politik,
kultural dan ekonomi berlangsung.
Lembaga juga menetapkan batasan pilihan (range
of choices), pengaturan resiko dan ketidakpastian, dan menentukan biaya
transaksi dan produksi. Lebih jauh, ia juga mempengaruhi feasibilitas dan
keuntungan dalam aktivitas ekonomi. Lembaga bahkan “…. evolve
incrementally, linking the past with the present and future”. Lembaga mampu
menghubungkan masa lalu, sekarang dan masa depan. Lembaga menentukan bagaimana
insentif akan terbagi dalam masyarakat: siapa mendapat apa dan berapa banyak.
Organisasi bersama lembaga
menjadi sumberdaya
dalam pengorganisasian diri petani. Petani menggunakan organisasi sebagai salah satu sumber daya,
sebagaimana sumber daya lainnya dalam lembaga. Berlangsung proses yang saling
mencampurkan (interplay) antara aspek
regulatif, normatif dan kultural kognitif dengan organisasi formal.
Lebih jauh, petani telah memberikan
makna yang sama sekali baru terhadap organisasi, yang sungguh berbeda
sebagaimana diinginkan oleh pemerintah. Bagi petani, organisasi dijadikan modal
dalam membentuk dan menjaga relasi dengan aparat pemerintah. Petani tidak
memberikan sikap resistensi - namun justeru kooperatif - dan malah tetap mampu
menarik manfaat dari relasi tersebut.
Dengan demikian, yang lebih dibutuhkan adalah pengorganisasian petani dalam makna
luas. Insentif untuk berorganisasi secara formal lemah, karena selain pembentukan
organisasi membutuhkan keterlibatan yang cukup menyita waktu, pelayanan untuk
menjalankan usaha telah cukup tersedia di desa. “Organisasi” yang dibutuhkan
bercirikan sebuah bangunan sosial yang mampu memberikan akses petani terhadap segala kebutuhannya. Organisasi ini mampu
membantu berbagai hambatan yang dihadapi petani dan mitranya misalnya pedagang
kecil lokal, dalam hal pengetahuan dan keterampilan, teknologi dan kualitas
produk, skala ekonomi, biaya transaksi yang mahal, dan rendahnya akses ke
permodalan.
PENUTUP
Berdasarkan analisis kelembagaan, dimana relasi sosial menjadi inti perhatiannya, petani menjalankan
usahanya (mengorganisasikan dirinya) melalui pola-pola yang tidak kaku
sebagaimana organisasi formal saja. Bagi petani, organisasi formal hanyalah
satu pilihan, dan bahkan lebih menjadikan tindakan individual (individual action) sebagai bentuk yang
pokok.
Petani menjalankan usaha
pertaniannya melalui pedoman norma dan regulasi, dengan melakukan pemaknaan
aktif terhadapnya. Petani menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak
dengan berpedoman kepada panduan normatif komunitas, norma ekonomi dalam pasar,
dan relasi dengan petugas pemerintah. Dalam kondisi ini, organisasi formal
(kelompok tani, koperasi, Gapoktan, dan lain-lain) hanyalah salah satu sumber
daya bagi petani yang bersama-sama unsur-unsur dalam lembaga dijadikan sebagai
peluang, pedoman, serta batasan untuk berperilaku sehari-hari.
Organisasi formal yang diintroduksikan pemerintah
dimaknai dan direspon dalam kerangka lembaga tersebut. Salah satu responnya
adalah dimana organisasi petani hanya dijalankan sejumlah kecil pengurus, dan
eksistensi organisasi hanya mengandalkan pada mereka, sehingga berlangsung
gejala “individualisasi organisasi”. Pola manajemen organisasi seperti ini
meniru bentuk pengorganisasian masa lalu yang memberikan kewenangan dan peran
pada seseorang saja (=“pengorganisasian secara personal”). Fenomena ini biasa ditemukan pada pengelolaan irigasi
skala kecil yang disebut dengan Ulu-Ulu di Jawa Barat, Kapalo Banda di Sumatera
Barat, dan Klian Subak di Bali, yang merupakan sebuah “individual autonomous”.
Seseorang yang ditunjuk diberi wewenang penuh untuk mengelola irigasi, dan
berhak menetapkan bagaimana pembagian air, menyusun rencana, termasuk membuat
keputusan untuk mengundang petani dalam berbagai kepentingan.
Dengan segala permasalahan dan pilihan yang mereka
hadapi, relasi individual yang berbasiskan komunitas dan pasar terbukti lebih
banyak dipilih petani. Temuan ini sedikit banyak dapat menjadi catatan, bahwa
selain relasi individual ini perlu diperhatikan, petani dengan ciri seperti ini
membutuhkan bangun organisasi yang berbeda. Relasi-relasi berbasis pasar pada
hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Di dalamnya juga dijumpai
pelaku-pelaku yang dapat dibatasi secara sosial, relasi-relasi dan struktur
relasi yang terpola, norma yang dipegang dan dijaga bersama (meskipun tidak
tertulis), serta transaski yang murah dan efektif. Namun, bentuk pengorganisasian
berbasis pasar tidak selalu lebih baik. Bagaimana bentuk pengorganisasian yang
sesuai bergantung pada kompleks norma, aturan, serta kultural kognitifnya yaitu
bagaimana petani memahami kondisi yang dihadapinya.
Sikap pemerintah selama ini yang menjadikan
organisasi formal sebagai satu-satunya jalan untuk menggerakan dalam
pemberdayaan, merupakan pendapat yang sudah waktunya direvisi. Selain bahwa
anjuran ini kurang disukai petani, pemaksaan ini berdampak kepada banyak
masalah di lapangan, misalnya berlangsungnya kebohongan administratif, program
yang tidak efektif mencapai petani yang semestinya, dan membuat manfaat
pembangunan kurang terdistributif secara adil. Pemberian bantuan kepada
masyarakat yang menurut aturan hanya dapat diberikan kepada organisasi formal
semestinya ditiadakan, karena tidak akan mampu mencapai petani-petani kecil dan
miskin yang sesungguhnya jauh lebih membutuhkan. Pengorganisasian petani tanpa
harus berada dalam organisasi formal adalah implikasi yang masuk akal
sebagaimana temuan dan analisis dalam penelitian ini.
Sesuai dengan pendekatan Teori Kelembagaan Baru,
organisasi petani dalam bentuk formal semata-mata mestilah hanya dipandang
sebagai pilihan. Untuk berjalannya pembangunan
pertanian, atau aktivitas agribisnis khususnya, yang dibutuhkan adalah
pengorganisasian petani (dalam makna luas) yang efektif. Setiap transaksi dapat
dijalankan dengan biaya murah, dan tersedia jaringan antar pelaku dengan bentuk
terpola sehingga dapat menjadi wadah yang dapat diakses petani dengan mudah.
Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan
tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan kolekif lebih murah dan
efektif. Namun, dalam kondisi lingkungan kelembagaan yang baik, tanpa tindakan
kolekif tetap mampu dicapai kemudahan. Dengan demikian, perbaikan ke depan
dapat melalui aras lembaga (dan kelembagaan) maupun melalui aras organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Beard,
Victoria A. and A. Dasgupta. 2006. Collective Action and Community-driven
Development in Rural and Urban Sage Publication and Urban Studies
Journal Limited. http://usj.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/9/1451
Blom-Hansen, J. 1997. A ‘New Institutional’
Perspective On Policy Networks, Public Administration 75: 669–693.
Brewer, Jeffrey D. 1985. Penggunaan Tanah Tradisional
dan Kebijakan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur (hal. 163 – 188). Dalam:
Michael R. Dove (ed). (1985). Peranan Kebudayaan
Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bourgeois, R; F.
Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia:
Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural
Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).
Branson, J. and D. Miller. Pierre Bourdieu. Hal. 43-57. Dalam: Peter Beilharz. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis
terhadap Para Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Chamala, S and P.M. Shingi. 2007. Chapter 21 - Establishing and strengthening
farmer organizations. FAO. http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0n.htm.
Dimaggio, P. J. and W.W. Powell. 1991. The New
Institutionalism In Organizational Analysis. Chicago: University of Chicago
Press.
Fafchamps, Marcel. 2007. Global Poverty Research Group. 2007. Trade
and Social Capital.
http://www.gprg.org/themes/t4-soccap-pub-socsafe/sc-uses/trade-sc.htm, 20
agustus 2007
Fauzi, Noer. 1999.
Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta:
Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Granovetter,
M. 2005. The Impact of Social
Structure on Economic. Journal of Economic Perspective 19(1): 33–50.
Grootaert, C and T. van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A
Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative.
Social Capital Initiative Working Paper No. 24. Washington, D.C: The World
Bank.
Hayami, Y dan T. Kawagoe. 1993. The Agrarian Origins of Commerce and Industry: A
Study of Peasant Marketing In Indonesia. St. Martin's Press. Singapore.
Hellin, J.; M. Lundy; and M. Meijer. 2007. Farmer
Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri
Working Paper No. 67, October 2007. Research
Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5,
2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI),
Washington.
Hutahaean, L.; R.H. Anasiru; dan I.G.P. Sarasutha. 2010. Analisis Kelayakan Usaha
Pelayanan Jasa Alsintan di Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian. Balai
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian,
Jakarta.
Jackson, K.D. and L.W. Pye (eds). 1978.
Political Power and Communications in Indonesia. University of California
Press. Berkeley, LA, and London.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor
93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan.
Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta:
Penerbit Aksara Baru.
Lema, N.M. and B.W. Kapange. 2006. Farmers’
organization and Agriculture Innovation in Tanzania. Dalam: www.kit.nl
Lobo, C. 2008. Institutional And Organizational
Analysis For Pro-Poor Change: Meeting IFAD’s Millennium Challenge. A sourcebook. Rome: IFAD. www.ifad.org/english/institutions/sourcebook.pdf. 8 Januari 2013.
Lipton, Michael. 1977. Why
Poor People Stay Poor: A Study Of Urban Bias In World Development. Harvard
University Press, 1977 - 467 pages
March, J.G. and J.P. Olsen. 1984. The New Institutionalism:
Organizational Factors in Political Life. American Political Science Review 78
(3): 734-749.
Martinussen, J.
1997. Society, State, &
Market: A Guide To Competing Theories of
Development. Danish Association for
International Co-operation. Copenhagen.
Nee,
Victor. 2005. The New Institutionalism in Economics and Sociology. In: The Handbook of Economic Sociology. 2nd ed.
Niel J. Smelser dan Richard Swedberg (eds.) Princeton University Press.
North, Douglass C. 2005.
Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/
laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.
Nordholt, N.S. 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal
dalam Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Nurmanaf, R.; E.L. Hastuti; H. Tarigan; dan Supadi.
2033. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan Pertanian di
Pedesaan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Laporan Penelitian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 171 hal.
Pakpahan, Agus. 2004. Mengapa Kita
Tertinggal? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat. Majalah
Analisis Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis). Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hal 101-118.
Peraturan Menteri Pertanian No.
273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani
dan Gabungan Kelompoktani.
Perera,
Jayantha. 2004. Farmer’s Behaviour in Rice Irrigation in Monsoon Asia: Facts
and Fallacies. South Asia Economic Journal. 5/145, 2004.
Portes,
Alejandro. 2006. Institutions and Development: A Conceptual Reanalysis. Population and Development Review 32
(2): 233–262.
Putra,
HAS. 1988. Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan. Gadjah Mada
University Press.
Robbins, Lionel.
2005.
Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change.
(http://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/
events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005).
Saptana; T.
Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda E.M. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk
Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.
Scott, Richard W. 2008.
Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New
Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.
Scott, Richard W. 1995. Institutions and
Organizations Foundations for Organizational Science: Foundations
for Organizational Science. A Sage Publications Series. Sage Publications, Inc.
Scott, James C. 1993.
Perlawanan Kaum Tani. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal.
Shanin, T.
1990. Defining peasants: Essays concerning rural societies, expolary economies,
and learning from them in the contemporary world. Top of Form Oxford, UK and
Cambridge, MA, USA.
Stockbridge,
M., A. Dorward, and J. Kydd. 2003. Farmer organizations for market access: A
briefing paper. Wye Campus, Kent, England: Imperial College, London.
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku
Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Forum Agro
Ekonomi Vol. 16 No.1, Juli 1998.
Syahyuti. 2012. Pengorganisasian Diri Petani Dalam
Menjalankan Agribisnis Di Pedesaan: Studi Lembaga Dan Organisasi Petani
Dalam Pengaruh Negara Dan Pasar. Disertasi Universitas Indonesia, Depok.
Teken, I B. l988. Irigasi subak di Bali. Dalam
Irigasi, Kelembagaan dan Ekonomi, Jilid II, Gramedia, Jakarta).
Temple, G.P. 1976. Mundurnya
Involusi Pertanian: Migrasi, Kerja dan Pembagian Pendapatan di Pedesaan Jawa.
Prisma No. 3 April 1976.
Tjondronegoro, SMP dan G. Wiradi. (Eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Penerbit Gramedia, Jakarta. 344 halaman
Tjondronegoro, S.M.P. 1984.
Social Organization and Planned
Development in Rural Java: A Study of the Organizational Phenomenon in
Kecamatan Cibadak, West Java and Kecamatan Kendal, Central Java, Singapore:
Oxford University Press.
Undang-Undang
No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Wahono, Francis. 1994.
Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 tahun Revolusi Hijau. (pp. 3-21)
Majalah Prisma No. 3 Maret 1994.
White,
Ben. 1997. Agroindustry And Contract
Farmers In Upland West Java. Journal of Peasant Studies. Volume 24,
Issue 3, 1997.
Wijayaratna, C. M.
1993. Impacts of the Institutional
System on the Participants and on Irrigation Performance: A Note for Discussion. In Charles L.
Abernethy (ed). The Institutional
Framework for Irrigation. Proceedings
ofa Workshop Chiang Mai, Thailand. 1-5 November, 1993.
German Foundation For International Development International Irrigation
Management Institute Royal Irrigation Department Of Thailand
Wijayaratna,
C.M. 2002. Role of Local Communication and Institution in Integrated Rural Development.
APO Seminar, Asian Productivity Organization. 2004.
World
Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. Worl
Bank, US. http://econ.worldbank.org/
*******