"Kelemahan Konsep dan Pendekatan dalam Pengembangan Organisasi Petani: Analisis Kritis terhadap Permentan No. 273 tahun 2007
Oleh: Syahyuti (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Diterbitkan dalam majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol .10 No.2 tahun 2012.
Permentan No.
273 tahun 2007 merupakan kebijakan yang menjadi pedoman pokok tenaga lapang
dalam mengorganisasikan petani dalam pembangunan. Kondisi organisasi yang saat
ini kurang berkembang sesuai harapan, meskipun secara kuantitas terus
meningkat, disebabkan oleh berbagai kelemahan dan kekeliruan dalam penggunaan
konsep dan pendekatan yang tercantum dalam Permentan tersebut. Para pelaksana
mulai dari pusat sampai ke daerah dan lapangan tidak menyadari kelemahan ini,
sehingga hasil usaha mereka kurang efektif. Kelemahan yang ditemukan adalah
kekeliruan dalam penerapan konsep lembaga, organisasi, advokasi, dan PRA. Pedoman
yang dipaparkan berkenaan dengan penumbuhan dan pengembangan kelompok tani dan
Gapoktan cenderung dangkal, kurang detail dan longgar, serta tidak bertolak
atas pengetahuan yang sudah ada berkenaan dengan pengorganisasian dan
pemberdayaan petani. Setelah berjalan 5 tahun lebih, tampaknya dibutuhkan
penyempurnaan terhadap Permentan ini dengan menerapkan pengetahuan yang lebih
sesuai yakni menggunakan basis ilmu sosiologi kelembagaan, dimana organisasi
merupakan salah satu perhatian pokoknya.
Kata kunci: Permentan, lembaga, organisasi, petani
Pendahuluan
Peraturan Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani atau sering dipendekkan menjadi “Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani” dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Pertanian tanggal 13 April 2007. Permentan ini merupakan produk hukum yang menjadi pedoman pokok dalam kegiatan mengorganisasikan petani di Indonesia. Secara keseluruhan, rumusan Permentan terdiri atas 7 bagian, berturut-turut dari romawi I sampai VII adalah: latar belakang; pengertian; karakteristik kelompok tani; penumbuhan kelompok tani; pengembangan kelompok tani; Gapoktan; serta monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Permentaan ini dikeluarkan untuk menggantikan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan; sejalan dengan Pemisahan Departemen Pertanian dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) saat itu, dimana pembinaan terhadap nelayan juga telah dialihkan ke DKP.
Setelah
lima tahun semenjak dikeluarkan, kondisi organisasi petani di Indonesia masih
banyak menghadapi masalah. Meskipun jumlah organisasi petani secara
administratif meningkat, namun kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak
mampu mendukung pencapaian tujuan program. Satu penelitian yang cukup luas
cakupannya yang dilakukan di Indonesia, menemukan bahwa petani yang berada dalam organisasi
formal sangat sedikit. “More advanced rural producers’ organizations
can be found, though in very limited number” (Bourgeois et al. , 2003). Jika pun ada, kapasitas
keorganisasian mereka lemah. Hal ini bahkan telah menjadi faktor utama yang
menyebabkan kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan (PSEKP, 2006).
Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5), karena petani
cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003).
Akar penyebabnya adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal atau proses yang
tidak tendesentralisasi (Taylor dan
Mckenzie, 1992), pendekatan yang seragam (blue print approach) (Uphof, 1986), serta kurang mengedepankan
partisipasi dan dialog (Amien, 2005). Partisipasi yang berlangsung masih
bersifat searah atau baru sebatas
mobilisasi. Kemampuan aparat pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masih lemah (Bourgeois et al., 2003). Pengorganisasian petani baik
sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman
secara sosiologis yang mendalam yaitu
keorganisasian seperti apa yang sesungguhnya sesuai bagi mereka.
Menghadapi situasi ini, keterlibatan aparat pemerintah tampaknya harus
dilakukan secara bijak dan menggunakan basis keilmuan yang cukup (Hellin et al., 2007: 24).
Tujuan
penulisan paper ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada beberapa kekeliruan
mendasar dalam rumusan kebijakan Permentan No 273 tahun 2007. Kekeliruan ini
selain menyebabkan tidak efektifnya hasil yang diperoleh, juga berdampak kepada
berbagai permasalahan lain yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para
penyusun kebijakan ini. Analisis teks ini hanya dibatasi pada aspek
keilmiahannya, karena pada hakekatnya dalam setiap pemikiran dapat ditelusuri
paradigma, konsep, serta teori yang digunakan; namun bukan pada aspek struktur
dan konsistensi hukumnya.
KELEMAHAN DAN
INKOSISTENSI PENGGUNAAN KONSEP
Ketidakjelasan Konsep “Lembaga” dan “Organisasi”
Ketidakkonsistenan
penggunaan istilah “lembaga” dan “organisasi” sesungguhnya terjadi pada semua
produk legislasi pemerintah. Hal ini diakibatkan karena belum adanya referensi
yang kuat untuk dijadikan pedoman selama ini.
Dari penelusuran puluhan referensi, baik dalam literatur
berbahasa Inggris maupun Indonesia, ditemui berbagai ketidaksepakatan dan
ketidakkonsistenan penggunaan istilah. Ketidakkonsistenan dalam literatur
berbahasa Indonesia terjadi antara istilah ”lembaga”, ”kelembagaan” dan
”organisasi”. Penggunaan istilah ”kelembagaan”
dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung
atau dapat disamakan dengan konsep ”institutional”
dalam literatur berbahasa Inggris. Kekeliruan yang paling sering adalah
menerjemahkan ”institution” menjadi
”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”. Menghadapi berbagai kekeliruan dan
ketidaksepakatan ini, perlu disusun perumusan rekonseptualisasi sebagai berikut (bahasan lebih dalam dapat dibaca pada tulisan Syahyuti, 2010).
Tabel
1. Pemahaman terminologi, batasan, dan substansi
konsep “lembaga” dan “organisasi”
Terminologi dalam
literatur berbahasa Inggris
|
Penerjemahan selama ini
|
Penerjemahan semestinya
|
Batasan dan materinya
|
1. institution
|
Kelembagaan, institusi
|
Lembaga
|
Berisi norma, nilai,
regulasi, pengetahuan, dll. Menjadi
pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)
|
2. institutional
|
Kelembagaan, institusi
|
Kelembagaan
|
Hal-hal berkenaan dengan
lembaga.
|
3. organization
|
Organisasi, lembaga
|
Organisasi
|
Adalah social group,
aktor sosial, yg sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan
tertentu, dimana aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani,
kantor pemerintah.
|
4. organizational
|
Keorganisasian, kelembagaan
|
Keorganisasian
|
Hal-hal berkenaan dengan
organisasi. Misal: kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi,
relasi dgn organisasi lain.
|
Sumber: Syahyuti (2010).
Dengan demikian, ”lembaga” adalah
terjemahan langsung dari ”institution”,
dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara
”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”,
yang bermakna sebagai berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga. Demikian
pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai berbagai hal yang
berhubungan dengan organisasi.
Dalam Permentan No. 273
tahun 2007 ini, pada bagian II
(Pengertian) tidak disebutkan apa itu arti “lembaga”, “kelembagaan”, maupun “organisasi”;
padahal objek ini merupakan hal yang sangat mendasar dan disebutkan
berulang-ulang dalam bagian batang tubuhnya. Sebagaimana pada judulnya
Permentaan ini berkenaan dengan pengembangan kelembagaan, tapi apa makna
kelembagaan tidak dijelaskan sama sekali.
Pada bagian Pengembangan Kelompok Tani (bagian V) tertulis: “Menumbuhkembangkan kemampuan manajerial,
kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta
pelaku agribisnis lainnya”. Lalu, tertulis pula: “Memfasilitasi
penumbuhan dan pengembangan kelembagaan tani baik non formal maupun formal serta terlaksananya
berbagai forum kegiatan”, dan “Menginventarisasi
kelompoktani, GAPOKTAN dan kelembagaan tani lainnya yang berada di wilayah kabupaten /kota”. Dalam ketiga kalimat ini digunakan
istilah “kelembagaan tani” sebagai istilah untuk menyebut kepada organisasi-organisasi
milik petani, yaitu kelompok tani dan Gapoktan.
Sementara, pada kalimat ”Merencanakan dan
melaksanakan pertemuan-pertemuan berkala baik di dalam Gapoktan, antar Gapoktan
atau dengan instansi/lembaga terkait”, kata “lembaga” disini bermakna sebagai organisasi milik pemerintah. Dalam ilmu sosiologi, ini tergolong organisasi.
Kekacauan penggunaan istilah ini berlangsung pula pada berbagai produk
legislasi lain. Secara umum, dalam berbagai produk hukum yang dikeluarkan
pemerintah, istilah yang dipakai adalah “kelembagaan” dan “organisasi”.
Kadang-kadang juga digunakan istilah “lembaga” sebagai kata lain untuk
organisasi. Berikut ditunjukkan beberapa contoh rumusan kebijakan, yang paling
banyak digunakan sebagai pedoman dalam pembangunan pertanian.
Pertama, dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005. Dalam doukumen ini
dibedakan antara ”kebijakan pengembangan kelembagaan” dengan ”kebijakan
pengembangan organisasi ekonomi petani”. Masing-masing pada sub bab berbeda.
Dalam dokumen ini, ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah hal berbeda, dimana
kelembagaan adalah sesuatu yang berada
di ”atas petani”, sedangkan organisasi
berada di level petani. Sesuai dengan rekonseptualisasi dalam penelitian
ini, maka kedua hal ini merupakan “organisasi”.
Dalam Sub Bab Kebijakan Pengembangan Kelembagaan, objek yang diatur
adalah lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan
lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Kata “lembaga” disini jelas
adalah organisasi menurut konsep sosiologi. Sementara, pada bagian Kebijakan
Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani, mencakup kelembagaan ketahanan pangan
di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi
petani di perdesaan. Kata “kelembagaan” di kalimat terakhir ini bermakna
sebagai kesalinghubungan berbagai organisasi dalam menjalankan satu urusan,
misalnya bagaimana relasi antara Pemerintah Daerah dengan kelompok tani dalam
mencapai ketahanan pangan.
Kedua, Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri
tahun 2008. Pada bagian tujuan point b tertulis “Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar,
representatif, dan akuntabel”. Lalu, pada kalimat “PNPM Mandiri diarahkan menggunakan dan mengembangkan secara optimal
kelembagaan masyarakat yang telah ada”. Kata “kelembagaan masyarakat”
disini bisa dimaknai sebagai organisasi. Namun pada kalimat “Dimensi
kelembagaan masyarakat meliputi proses pengambilan keputusan dan tindakan kolektif,
organisasi, serta aturan main”, maknanya sudah mencakup aspek-aspek
lembaga.
Pada bagian lain tertulis: “Harmonisasi
kelembagaan dilakukan melalui pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan
yang telah ada dengan cara meningkatkan kapasitas pengelola, memperbaiki
kinerja dan etika lembaga, dan meningkatkan tingkat keterwakilan berbagai
lembaga yang ada”. Dari kalimat ini, kata “harmonisasi kelembagaan” lebih
tepat disebuti sebagai manajemen
kegiatan, sedangkan “kelembagaan yang telah ada” adalah organisasi.
Sementara pada kalimat “Konsolidasi
organisasi pelaksana program sektor yang bersifat adhoc dan koordinasi berbagai
kelompok masyarakat yang ada oleh lembaga keswadayaan masyarakat di desa/
kelurahan” dan ”Kelembagaan PNPM
Mandiri di desa/kelurahan adalah lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk,
ditetapkan oleh masyarakat, ...”; istilah Lembaga keswadayaan masyarakat
(LKM) yang dimaksud disini hanya sebutan (= nama organik) untuk sebuah
organisasi kecil beranggotakan biasanya 5 orang. Mereka mengajukan dana
pinjaman ke pengelola PNPM yang disebut dengan Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM), dimana mereka menjalankan kegiatan ekonomi misalnya 5 orang ibu-ibu yang
semuanya menjalankan usaha jahit menjahit.
Ketiga, Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 1 point 17 tertulis: ”Kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan, pembudi daya ikan,
pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah
lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku utama”. Kata
“kelembagaan” dan “lembaga” disini mestinya diganti dengan organisasi. Demikian
pula pada point 25: ”Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/ atau masyarakat
yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan”; juga Pasal 8 “Kelembagaan penyuluhan terdiri atas:
kelembagaan penyuluhan pemerintah; kelembagaan penyuluhan swasta; dan
kelembagaan penyuluhan swadaya”; dan Pasal 9 “Badan penyuluhan pada tingkat pusat mempunyai tugas ....”. Dalam
UU ini tidak ditemukan penggunaan kata “organisasi” sama sekali.
Dari keempat produk legislasi di atas terlihat bahwa organisasi (organization) menggunakan beberapa kata yang berbeda-beda, yaitu lembaga,
kelembagaan, kelembagaan tani, kelembagaan masyarakat, dan organisasi.
Sementara untuk lembaga (institution)
sama sekali tidak disebut secara jelas.
Kekeliruan Memaknai
Konsep “Advokasi”
Pada
bagian 4.2. tentang Penumbuhan Kelompok Tani tertulis: “Sedangkan advokasi (saran dan pendapat) kepada para petani khususnya
tokoh-tokoh petani setempat serta informasi dan penjelasan mengenai: pengertian
tentang kelompoktani, proses atau langkah-langkah dalam menumbuhkan
kelompoktani, penjelasan tentang kewajiban dan hak anggota serta pengurus, dan
penyusunan rencana kerja serta cara kerja kelompok”. Lalu, pada bagian 5.2.
dengan sub judul Peningkatan Kemampuan Anggota Kelompok Tani disebutkan, agar
kelompok tani “Mendorong dan mengadvokasi
agar para petani mau dan mampu melaksanakan kegiatan simpan-pinjam guna
memfasilitasi pengembangan modal usaha”. Jadi, ada dua bentuk kegiatan apa
yang disebut dengan advokasi dalam aturan ini, yaitu antara penyuluh dengan
kelompok tani, dan selanjutnya antara pengurus kelompok tani dengan anggotanya
sendiri.
Penggunaan
istilah advokasi tidak sesuai dalam konteks ini, karena apa yang dimaksud
sesungguhnya lebih tepat disebut dengan kegiatan sosialisasi atau mobilisasi. Apalagi
untuk relasi antara pengurus kelompok tani dengan anggotanya yang sesungguhnya
adalah kegiatan internal organisasi belaka.
Secara teoritis,
advokasi adalah “…..a strategy that is used around the world by non-governmental
organizations (NGOs), activists, and even policy makers themselves, to
influence policies”. Pada prinsipnya, advokasi adalah suatu proses
yang bersifat strategis dan mengarahkan berbagai kegiatan yang dirancang dengan
cermat kepada berbagai kelompok kepentingan (stakeholders) dan pembuat kebijakan. Perjuangan advokasi diarahkan
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan kebijakan baik berupa undang-undang,
peraturan, program, ataupun sistem anggaran yang merupakan wewenang di tingkat
tertinggi berbagai institusi pemerintah, publik, maupun swasta. Pemerintah
merupakan institusi yang paling sering dituju dalam suatu advokasi, karena ia
merupakan lembaga tertinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan terkuat secara
ekonomi dan politik.
Makna paling pokok dari
advokasi adalah “pembelaan”. Jika kita telusuri melalui kamus, akan ditemukan
bahwa “advocacy” adalah sebuah kata benda yang identik dengan “support” (=dukungan atau pembelaan). Makan
secara lengkapnya adalah suatu bentuk
pendukungan yang aktif; terutama berupa tindakan membela atau membantah
terhadap sesuatu hal (biasanya kebijakan pemerintah), seperti suatu penyebab masalah, gagasan, atau
kebijakan. Dalam kamus, kata “advocacy”
sinonim dengan advancement, aid,
assistance, backing, campaigning for, championing, defense, encouragement,
justification, promotion, promulgation, propagation, proposal, recommendation,
upholding, dan urging.
Advokasi
berupaya mempengaruhi pengambil kebijakan, yang membuat hukum dan peraturan,
mendistribusikan sumber daya, dan berbagai keputusan lain yang mempengaruhi
hidup masyarakat. Tujuan utama advokasi adalah untuk menghasilkan kebijakan,
mereformasi kebijakan, dan menjamin suatu kebijakan diimplementasikan.
Advokasi berbeda
dengan penyuluhan. Dalam penyuluhan
objeknya adalah rumah-rumah tangga, yang diupayakan untuk dirubah perilakunya
dalam bertani. Penyuluhan didesain untuk
mempengaruhi keputusan di level individual dan rumah tangga, bukan keputusan di
level pengambil kebijakan (policy makers) yang mempengaruhi rumah tangga tadi. Jadi, advokasi memiliki sasaran ke
atas; sedangkan apa yang dsebut dengan “advokasi” dalam Permentan ini memiliki
sasaran ke bawah.
Kekeliruan
Memahami Konsep dan Praktek PRA
Pada
bagian 5.3. disebutkan bahwa salah satu peran penyuluh adalah memfasilitasi kelompoktani dalam
melakukan PRA (Participatory Rural
Appraisal). Tampaknya penyusun kebijakan ini keliru memahami apa sesungguhnya
PRA dan bagaimana menjalankannya. Meskipun petani sebagai pemilik pengetahuan
merupakan pihak yang dihargai dalam penerapan metode PRA, namun bukan berarti
petani secara mandiri dapat melakukannya. Kehadiran pihak luar yang ahli, yang
terdiri dari sekelompok expert,
sangat dibutuhkan sebagai fasilitator. Seorang penyuluh saja tidak dapat
melakukan fasilitasi ini.
PRA
adalah istilah yang diberikan kepada pendekatan penelitian yang menggunakan
metode partisipastif dengan menekankan kepada pengetahuan lokal dan kemampuan
masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis sendiri, dan
merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Namun PRA tidak dapat dijalankan
oleh petani sendiri. PRA merupakan collaborative
decision making, yaitu suatu pendekatan untuk
belajar bersama (shared learning) di
antara masyarakat lokal dan pihak luar. Dalam PRA, koleksi dan analisis data
dilakukan oleh masyarakat lokal, sedangkan pihak luar berperan sebagai
fasilitator. Setidaknya ada lima kunci utama
dalam mengimplementasikan PRA yaitu: participation,
teamwork, fleksibility, optimal ignorance, dan traingulation. Dalam konteks teamwork, validitas data
yang dihasilkan dari PRA tergantung dari interaksi informal dan brainstorming di antara mereka yang
terlibat. Data terbaik akan diperoleh bila dikerjakan oleh satu tim yang
melibatkan masyarakat lokal dengan perspektif dan pengetahuan tentang kondisi
wilayahnya, tradisi, serta struktur sosial setempat; sedangkan pihak luar (expatriates) melengkapinya dengan mencampurkan
berbagai disiplin dan pengalaman. Suatu tim yang seimbang akan mampu
merepresentasikan keragaman sosial ekonomi, kultural, gender, dan generasi.
Peran pihak luar, yang sering disebut dengan “pihak
profesional” atau dalam literatur lain sering pula disebut “outsider”, dapat berupa seorang guru, pihak
pendamping lapang NGO, pekerja sosial dan peneliti (Bahandari, 2003). Tidak disebutkan
bahwa seorang penyuluh dapat menjalankannya. Peran pihak profesional yang biasanya terdiri atas sekelompok ahli untuk
berbagai bidang sangat penting, karena ia mengajarkan metodologi, memonitor,
mensistematiskan informasi, dan membantu penulisan laporan. Mereka haruslah memliki
kapasitas expert, karena mereka harus
melakukan beberapa
metoda yaitu wawancara semi terstruktur, diskusi grup secara terfokus (focus group discussions), menyusun
rangking penilaian (preference ranking),
pembuatan peta dan model (mapping and
modeling), dan diagram musim dan histrorik (seasonal and historical diagramming).
Wujud dan Fungsi Kelompok Tani
Dalam
Permentan 273/2007, disebutkan bahwa kelompoktani
adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun
yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan
mengembangkan usaha anggota”. Sementara menurut Kepmentan No 93/1997 “kelompok tani-nelayan adalah kumpulan
petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan
kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk bekerjasama
meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan kesejahteraan anggotanya”.
Antara kedua batasan terdapat perbedaan tekanan, meskipun secara umum bermakna
sama.
Disebutkan
bahwa kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi non formal di perdesaan
yang ditumbuhkan “dari, oleh dan untuk petani”. Kelompok tani memiliki
karakteristik sebagai berikut: (a). saling mengenal, akrab dan saling percaya
diantara sesama anggota, (b). Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama
dalam berusaha tani, (c) Memiliki kesamaan dalam tradisi dan atau pemukiman,
hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan
dan ekologi. (d) Ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesama anggota
berdasarkan kesepakatan bersama. Unsur pengikat kelompoktani adalah adanya
kepentingan yang sama diantara para anggotanya, adanya kawasan usaha tani, adanya
kader tani, adanya kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya, adanya dorongan
dari tokoh masyarakat setempat.
Ada
tiga fungsi utama kelompok tani, yaitu sebagai kelas belajar (farmer to farmer learning), wahana
kerjasama, dan unit produksi . Usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing
anggota kelompoktani, setelah mencapai perkembangan yang cukup, secara
keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha untuk mencapai skala
ekonomi. Artinya disini ingin dihasilkan sebuah manajemen usaha yang terintegratif
dan bersatu sehingga mendekati apa yang misalnya dikenal dengan corporate farming, meskipun penguasaan
usaha tiap anggota tidak dihilangkan.
Bentuk-bentuk kelompoktani disebutkan
dapat berupa petani dalam satu wilayah, satu desa atau lebih, serta berdasarkan
domisili ataupun hamparan. Batasan yang agak longgar ini mengakibatkan satu orang
petani bisa menjadi anggota dalam beberapa kelompok tani sekaligus. Batasan
seperti ini juga menyebabkan adanya perbedaan pandangan dari berbagai dinas
terkait di daerah. Kantor penyuluhan misalnya lebih menginginkan kelompok tani
berisi berbagai jenis usaha (polivalent),
karena akan lebih mudah dalam mengunjunginya. Sementara dinas-dinas teknis
menginginkan anggota kelompok tani berisi petani yang kegiatannya sejenis (monovalent). Sehingga saat ini dikenal ada
kelompok tani ternak, kelompok tani pembudidaya ikan, dan kelompok tani hutan
atau Wana Tani; serta juga kelompok tani yang berisi berbagai bidang usaha
sekaligus.
Jenis
kegiatan yang dapat dijalankan kelompok tani relatif menyeluruh yakni: “…..tergantung kepada kesempatan anggotanya.
Dapat berdasarkan jenis usaha, unsur-unsur subsistem agribisnis (pengadaan
sarana produksi, pemasaran, pengolahan hasil pasca panen)” . Selanjutnya,
pada bagian 5.1. disebutkan bahwa kelompok tani sebagai “….. wahana kerja sama dan unit produksi, unit penyedia sarana dan
prasarana produksi, unit pengolahan dan pemasaran dan unit jasa penunjang
sehingga menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri.”
Indikator Keorganisasian
Kelompok Tani
Secara
umum, pemahaman tentang aspek-aspek keorganisasian yang dimuat dalam Permentan
273/2007 banyak mengandung kelemahan. Disebutkan bahwa kelompoktani diharapkan menjadi
organisasi petani yang kuat dan mandiri yang dicirikan oleh 9 indikator yaitu: (1)
adanya pertemuan/rapat anggota/rapat pengurus yang diselenggarakan secara
berkala dan berkesinambungan; (2) Disusunannya rencana kerja kelompok secara
bersama dan dilaksanakan oleh para pelaksana sesuai dengan kesepakatan bersama
dan setiap akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi secara partisipasi; (3) Memiliki
aturan/norma yang disepakati dan ditaati bersama; (4) Memiliki
pencatatan/pengadministrasian organisaso yang rapih; (5) Memfasilitasi
kegiatan-kegiatan usaha bersama di sektor hulu dan hilir; (6) Memfasilitasi
usaha tani secara komersial dan berorientasi pasar; (7) Sebagai sumber serta layanan informasi dan
teknologi untuk usaha para petani umumnya dan anggota kelompoktani khususnya; (8)
Adanya jalinan kerja sama antara kelompoktani dengan pihak lain; (9) Adanya
pemupukan modal usaha baik iuran dari anggota atau penyisihan hasil
usaha/kegiatan kelompok.
Indikator-indikator ini
kurang sejalan dengan indikator untuk penilaian kelas kelompok tani yang sudah
digunakan sejak era Bimas. Ada 5 kemampuan yang dinilai yaitu: kemampuan merencanakan kegiatan, kemampuan melaksanakan dan mentaati
perjanjian dengan pihak lain, kemampuan pemupukan modal dan pemanfaatan
pendapatan secara rasional, kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga
antar kelompok tani dengan KUD, serta kemampuan menerapkan teknologi dan
pemanfaatan informasi serta kerjasama kelompok. Penilaian menggunakan angka, utamanya berupa
persen, dan lalu diberi bobot. Nilai total
yang diperoleh merupakan nilai akhir bagi organisasi bersangkutan, yang lalu dikelompokkan
atas selang secara numerik, sehingga lalu diperoleh 4 kelas yaitu kelas pemula,
lanjut, madya atau utama.
Dalam Permentan 273/2007 tidak
disebut-sebut sama sekali tentang koperasi ataupun KUD, namun justeru yang
didorong adalah kerjasama kelompok tani dengan Gapoktan. Dengan kata lain,
antara indikator pada Permentan dengan indikator yang digunakan untuk menilai
kelompok tani tidak konsisten.
Namun secara metodologis,
kuesioner penilaian kelas kelompok tani juga banyak mengandung kelemahan. Meskipun penilaian dilakukan setiap tahun,
namun tidak disebutkan cakupan waktu untuk tiap kegiatan yang dinilai, apakah
hanya untuk setahun terakhir atau merupakan kumulatif. Kelemahan lain adalah,
relasi dengan koperasi yang menjadi indikator penting, sementara kebijakan
Kemtan lebih mendorong seluruh kelompok tani berada dalam Gapoktan.
Indikator-indikator yang digunakan tidak secara tegas menyebutkan apa
pembuktiannya secara lebih nyata. Misalnya adalah indikator ” mampu
mengidentifikasi perjanjian atau mengenal infrastruktur”.
Dalam pedoman pengisian
juga tidak disebutkan siapa responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut: apakah cukup seorang pengurus, semua pengurus, atau apakah juga
diperlukan pula beberapa anggota. Selanjutnya, dalam hal persen, tidak jelas apakah
nilai tersebut untuk kuantitas anggota yang terlibat atau yang mampu, ataukah
persen dari sisi waktu. Indikator-indikator yang digunakan umumnya berupa
informasi kualitatif, sehingga rendah tingkat validitasnya. Jadi, perangkat penilaian
ini memiliki masalah reliabilitas, yakni masalah kekeliruan pemilihan
indikator, serta masalah validitas yaitu kekuranghandalan masing-masing
indikator.
Selanjutnya,
jika diperbandingkan dengan berbagai pedoman yang berlaku lebih luas, indikator
dalam Permentan terlihat lebih sederhana dan dangkal. Sebagai contoh,
Universalia (2002) menggunakan empat indikator pokok untuk melakukan penilaian sebuah organisasi, yaitu:
(1) Kinerja organisasi (organizational performance) yang diukur
dari pencapaian utama (major achievements), tingkat
produktifitas organisasi, efisiensi
dalam mencapai misinya, perbandingan antara biaya dengan produksi, produktifitas
anggota, efisiensi administrasi, ketersediaan dan dukungan keuangan, dan
kemampuan memperoleh keuntungan sepanjang waktu.
(2) Kemampuan organisasi tumbuh di lingkungannya (the enabling environment and organizational performance) yang mencakup lingkungan teknologi dan ekologi, geografi,
clients organisasi, donor organisasi, penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan (legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum.
(2) Kemampuan organisasi tumbuh di lingkungannya (the enabling environment and organizational performance) yang mencakup lingkungan teknologi dan ekologi, geografi,
clients organisasi, donor organisasi, penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan (legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum.
(3) Motivasi organisasi (organizational motivation) dengan menganalisa secara
mendalam sejarah organisasi, misi organisasi, kultur organisasi (the organization’s culture), serta sistem insentif dan penghargaan (incentive and reward system).
(4) Kapasitas organisasi (organizational capacity) yakni kekuatan dan kelemahan
strategi kepemimpinan (strategic
leadership) dalam organisasi, manajemen keuangan, struktur keorganisasian,sarana dan prasarana
yang dimiliki organisasi, sistem perekrutan (following systems) serta proses atau dimensi sumberdaya manusia, program dan manajemen pelayanan, manajemen proses, dan hubungan antar organisasi (inter-organizational linkages).
Pada
bagian 5.2. terbaca dimana Kelompoktani mendorong anggotanya agar mau dan mampu
melaksanakan kegiatan simpan-pinjam guna memfasilitasi pengembangan modal
usaha. Permentan ini, sebagaimana banyak kebijakan pemerintah yang lain,
berfikiran bahwa meminjam modal dari luar adalah sesuatu yang positif dan
sangat disarankan untuk dipilih oleh petani. Pemikiran ini, selain masih
merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan, juga kurang konsisten dengan upaya
memandirikan petani sebagaimana jiwa yang diusung oleh Permentan ini.
Pendekatan Pembentukan,
Penumbuhan, dan Pengembangan Kelompok Tani
Disebutkan
dalam bagian 4.1. bahwa penumbuhan kelompoktani dapat dimulai dari kelompok-kelompok
atau organisasi sosial yang sudah ada di masyarakat, dengan memperhatikan
kondisi-kondisi kesamaan kepentingan, sumber daya alam, sosial ekonomi, keakraban,
saling mempercayai, dan keserasian hubungan antar petani. Sementara, prinsip-prinsip
penumbuhan kelompoktani dapat dikatakan sudah ideal yaitu menggunakan prinsip
kebebasan, keterbukaan, partisipatif, keswadayaan, kesetaraan, dan kemitraan.
Satu kelemahan
tampak dalam proses penumbuhan. Hanya ada dua langkah dalam proses penumbuhan
yaitu pengumpulan data dan informasi, serta dilanjutkan dengan “ ….advokasi (saran dan pendapat) kepada
para petani khususunya tokoh-tokoh petani “ (bagian 4.2.). Pada langkah
kedua disampaikan empat hal yaitu memberikan pengertian tentang kelompoktani,
menjelaskan proses atau langkah-langkah
dalam menumbuhkan dan membentuk kelompoktani, kewajiban dan hak setiap anggota,
serta penyusunan rencana kerja kelompok.
Pendekatan yang
hanya mengandalkan kepada dua langkah ini terkesan terlalu menggampang proses,
dimana tidak menghargai sama sekali proses yang berlangsung dalam diri petani
sendiri, serta tidak berjalannya apa yang dikenal dengan “organizational learning”. Organizational learning adalah
sikap yang memberikan kesempatan kepada organisasi yang baru terbentuk untuk
belajar (learns) dan beradaptasi (adapts) terhadap persoalannya sendiri. Sebagai
pedoman, maka ini kurang memberi arahan yang cukup.
Materi dalam Permentan
juga tidak memberikan kesempatan berkembangnya adaptive organization, yakni “….an organization that is able to sense changes in signals from its
environment (both internal and external) and adapt accordingly”. Dalam
proses ini berlangsung pendekatan
proses belajar (learning-process
approach) dalam kerangka belajar
aktif (action-learning) (Korten,
1980). Panduan yang disampaikan dalam Permentan ini lebih sesuai jika
disebut dengan proses pembentukan, bukan proses penumbuhan.
Selanjutnya
pada bagian 4.2. dipaparkan bahwa “Penumbuhan/pembentukan kelompoktani
dilakukan dalam pertemuan atau musyawarah petani yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, pamong desa, penyuluh pertanian sebagai mitra kerja petani dan
instansi terkait. Selanjutnya kesepakatan membentuk kelompoktani dituangkan
dalam berita acara pembentukan kelompoktani”. Disini terbaca bahwa
pembentukan organisasi petani lebih sebagai agenda pemerintah. Dengan kata
lain, bagian ini bertentangan dengan prinsip yang dipaparkan di bagian Romawi
III bahwa kelompok tani adalah dari, oleh dan untuk petani.
Penumbuhan
organisasi petani semestinya merupakan hal yang serius karena akan menentukan
kapasitas dan kontinyuitasnya. Ini merupakan proses yang melibatkan
faktor-faktor sosiologis dan psikologis pada diri petani dan komunitas. Sebagai
perbandingan, pengalaman pengorganisasian petani di beberapa negara mendapatkan
perlunya dilakukan 10 langkah untuk membangun organisasi petani (establishing farmer organizations),
sebagaimana dirumuskan oleh Chamala dan Shingi (2007). Kesepuluh langkah tersebut berturut-turut
adalah: (1) memahami komunitas (understanding the village community), (2) mengidentifikasi pempimpin-pemimpin yang
potensial dalam komunitas salah satunya melalui metode sosiometri, (3) mendekati
calon pempimpin (identified leaders) dan
mendapatkan kerjasama dari pihak-pihak lain, (4) membantu pemimpin lokal
utnuk melakukan pertemuan (community meetings), (5) menyusun daftar nominasi untuk
mendapatkan pemimpin utama (core group
leaders) yang terdiri atas beberapa
orang, (6) mengembangkan struktur organisasi, (7) mengembangkan manajemen
organisasi petani melalui pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan Education and Action Learning, (8) mulai
menggerakkan untuk tindakan (gearing up
for action), (9) melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang terpilih, (10) serta monitorng dan evaluasi perkembangan
organisasi. Salah satu metode untuk mengembangkan
manajemen organisasi melalui pendekatan Education
and Action Learning adalah metode yang berturut-turut terdiri atas
langkah-langkah educating, leading, mentoring and supporting, providing,
structuring, dan actualizing (Vogt
and Murrell, 1990).
Selanjutnya, bagaimana untuk
pengembangan organisasi petani, materi yang ada dalam Permentan dapat dikatakan
kurang memadai. Hal ini tercantum pada bagian V (Pengembangan Kelompoktani).
Materinya berisi apa ciri-ciri organisasi yang kuat dan mandiri, lalu arahan
kepada petugas lapang mulai dari tingkat desa sampai propinsi. Sebagai contoh,
pada Bagian 5.3. disampaikan pedoman yang cenderung umum, yaitu ”Dalam pengembangan kelompoktani, Pemerintah dan
pemerintah daerah pada dasarnya berperan menciptakan iklim untuk berkembangngnya
prakarsa dan inisiatif para petani, memberikan bantuan kemudahan/fasilitas dan
pelayanan informasi serta pemberian perlindungan hukum”. Tidak ditemukan pedoman yang taktis sehingga dapat diikuti
langkah-langkah apa yang mesti dijalankan secara kronologis.
PEMAHAMAN
TENTANG BENTUK KEORGANISASIAN GAPOKTAN
Definisi
Gabungan Kelompoktani (GAPOKTAN) dalam Permentan ini adalah “… kumpulan beberapa kelompok tani yang
bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”.
Batasan ini sedikit lebih pendek dibandingkan dalam Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 93 tahun 1997, dimana Gapoktan
adalah “ … gabungan dari beberapa
kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan
kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya dan petani lainnya”. Disebutkan
pula pada Kepementan 93/1997, bahwa Gapoktan
merupakan Wadah Kerjasama, yang disebut dengan Wadah Kerjasama Antar Kelompok
tani-nelayan (WKAK). Dalam aturan ini dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi
Petani-Nelayan. Sementara dalam Permentan 273 tidak dikenal adanya organisasi
petani yang berbentuk asosiasi.
Tentang
badan hukum Gapoktan, hanya disebutkan bahwa
apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu
mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum
untuk mengembangkan usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi
yang formal dan berbadan hukum. Penjelasan yang agak kabur ini membingungkan pelaksana
di lapangan. Pertanyaan yang paling sering adalah apakah Gapoktan harus menjadi
koperasi, karena hanya koperasi yang diakui bisa berbadan hukum (di samping
perusahaan dan yayasan).
Gapoktan
yang kuat dan mandiri dicirikan oleh 9 indikator, yang dapat dibagi atas
indikator dokumen dan indikator aksi. Indikator dokumen adalah: tersusunnya
rencana kerja, adanya aturan yang tertulis, dan memiliki pengadministrasian
yang rapih. Sementara indikator aksi atau aktvitas adalah adanya pertemuan pengurus
secara berkala, memfasilitasi kegiatan-kegiatan usaha bersama, memfasilitas
usaha tani secara komersial, menjadi sumber
serta pelayanan informasi dan teknologi, adanya kerjasama dengan pihak lain, serta adanya
pemupukan modal usaha. Pada indikator nomor 3 yaitu: “Memiliki aturan/norma tertulis yang disepakati dan ditaati bersama”,
perlu dibuat sedikit catatan, dimana “norma” semestinya tidak dimasukkan,
karena norma tidak pernah dituliskan. Pengertian yang paling umum tentang norma
adalah aturan yang tidak tertulis yang menjadi pedoman bagai anggota masyarakat
dalam bertindak.
Peran
yang dapat dijalankan Gapoktan mencakup aktivitas berkaitan dengan usaha
pertanian. Pada bagian 6.1. disebutkan
bahwa Gapoktan dapat berfungsi sebagai unit
usahatani, unit usaha pengolahan, unit usaha sarana dan prasarana produksi,
unit usaha pemasaran dan unit usaha keuangan mikro serta unit jasa penunjang
lainnya sehingga menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri. Lebih jelas disebutkan bahwa GAPOKTAN
melakukan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Merupakan satu kesatuan unit
produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas dan
harga); ( 2) Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, kualitas, kontinuitas dan
lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya; (3)
Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/pinjaman kepada para
petani yang memerlukan; (4) Melakukan proses pengolahan produk para anggota
(penggilingan, grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai
tambah; (5) Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/menjual produk petani
kepada pedagang/industri hilir.
Dengan
kata lain, peran yang dapat dimainkan Deptan persis sama dengan koperasi. Dalam
Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 43 berkenaan
dengan Lapangan Usaha ayat 3: “Koperasi
menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan
ekonomi rakyat”.
Jika
dihubungkan dengan berbagari literatur textbook
berkenaan dengan organisasi petani, Gapoktan merupakan jenis organisasi yang
dapat digolongkan sebagai “intergroup
association”. Beberapa istilah yang sering pula digunakan misalnya adalah “Small Farmer Group Associaton (SFGA)”, “representatives of groups”, atau secondary
level organization. Dalam FAO (2001), SFGA
didefinsikan sebagai: “ … is a
local-level, informal, voluntary and self-governing association of small farmer
groups (SFGs). It is created and financed by the individual members of its
affiliated groups to provide them with services and benefits that help improve
their economic and social conditions. This means that an SFGA is a
"secondary level" organization of small farmer groups.”
Ketiga istilah ini adalah sebutan untuk sebuah
organisasi yang posisinya berada di atas individual
organization, yang berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan
sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan
organisasi ke luar. Gapoktan merupakan intergroup
associaton untuk kelompok tani dan KWT di satu desa. Jika kelompok tani
anggota adalah petani sebagai individu, sedangkan anggota Gapoktan semestinya
adalah kelompok-kelompok tani tersebut. Hal ini sejajar dengan perbedaan antara
Koperasi Primer dengan Koperasi Sekunder (lihat UU No. 25 tahun 1992).
Menurut pengalaman FAO (2002), jumlah individual organization yang diwadahi
hanya efektif dengan jumlah 5 sampai 10 unit. Sementara, dalam Permentan
273/2007 tidak disebutkan berapa batas minimal maupun maksimalnya, juga tidak
disebutkan batas wilayah kerjanya. Di Indonesia, Gapoktan sesungguhnya sudah
mulai dibentuk semenjak era Supra Insus di akhir 1980-an, namun menjadi lebih
ramai semenjak awal 2000-an, terutama ketika diluncurkan program PUAP, dimana
penerima program harus organisasi Gapoktan. Di Indonesia, data pada Oktober 2009
menunjukkan bahwa total kelompok tani 270.817 unit, sedangkan total Gapoktan adalah 28.304 unit. Maka, rata-rata ada 9,6 kelompok tani
pada tiap Gapoktan. Dibandingkan dengan jumlah desa 69 ribu unit, maka Gapoktan
baru ada di lebih kurang 40 persen dari total desa. Saat ini, tentu persentase ini semakin
meningkat. Dalam administrasi kita tidak ada organisasi yang pernah berdiri
lalu dibubarkan, sehingga datanya masih tetap tercatat meskipun kondisi
keorganisasiannya sudah layak dianggap hilang.
Dalam
format sebagai the inter-group associations,
Gapoktan merupakan tahap lanjut dalam kegiatan pengorganisasian (a late development in the projects).
Gapoktan dikembangkan setelah kelompok tani berdiri dan berjalan dengan kuat.
Dalam prakteknya, hal ini tidak diikuti secara ketat.
Keberadaan intergroup
associations sangat berguna karena memungkinkan untuk saling berbagi
informasi antar kelompok tani, melakukan pelatihan, dan mengumpulkan
sumber-sumber daya di masing-masing kelompok. Dengan bersatu dalam Gapoktan,
maka dapat mencapai skala ekonomi lebih besar, dapat dapat membeli input
bersama-sama, memasarkan produk bareng-bareng, dan menjadi lebih murah karena
misalnya dapat menyewa truk secara bersama-sama.
Di
Sri Langka, mereka sudah bisa mengerjakan kegiatan di luar pertanian, misalnya
membangun infrastruktur desa, dan mengorganisasikan pertemuan warga sedesa (community meeting). Sementara, di Swaziland, mereka mampu
mendatangkan pemimpin daerah setempat dalam pertemuan mereka, dan berhasil
menegosiasikan kebutuhan mereka terhadap lahan olahan.
Langkah-langkah dan
siklus perkembangan inter-group
association
Pada buku FAO (2001)
berjudul “The Inter-group Resource Book:
A Guide to Building Small farmer Group Associations nad Network”, secara
alamiah ada pola siklus pertumbuhan sebuah inter-gorup
association, yakni:
(1)
Adanya tahap belajar (the learning stage). Tahap ini ditandai oleh tingginya
antusias anggota, adanya proses trial and error dalam manajemen, dan pernah
menghadapi output yang rendah.
(2)
Tahap tumbuh (growth).
Kesuksesan dalam melayani anggota (kelompok-keleompok tani dengan anggota-anggotanya) ditunjukkan
dengan memberikan pelayanan yang dibutuhkan, serta tingginya peningkatan hasil
(tidak semata-mata produktivitas ushatani). Keanggotaan tumbuh dimana ada
kelompok tani baru yang bergabung, dan loyalitas anggota begitu tinggi.
(3)
Tahap krisis. Sikap
over-confidence dalam menjalankan kegiatan menimbulkan namun belum didukung
kapasitas, menimbulkan mismanagement dan kekurangefisienan, sehingga output dan
keuntungan lalu anjlok.
(4)
Tahap pemulihan
(Recovery and sustained growth). Jika Gapoktan berhasil melewati krisis ini,
maka ia akan kembali berjalan baik dan
bisa bertahan dalam jangka yang lama.
Dalam Permentan 273/2007 hal ini
tidak dicakup. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan
Gapoktan. Gapoktan harus mampu menjalankan banyak peran (managing multiple services), karena posisinya yang melayani banyak
kebutuhan internal dan sekaligus untuk urusan eksternal kelompok-kelompok tani
satu desa. Untuk membagi-bagi tugas, maka perlu dibentuk kelompok-kelompok (task groups) atau sebuah service committees, dengan tugas yang
berbeda. Ini sejajar dengan sebuah “seksi “. Akan lebih ideal bika posisi diisi
oleh perwakilan tiap-tiap kelompok tani.
Dalam Permentan ini belum dimasukkan
secara khusus bagaimana kerjasama antar sesama Gapoktan. Kerjasama dengan
sesama Gapoktan merupakan langkah yang sangat esensial dan dapat berperan
banyak dalam konteks sosial, ekonomi dan juga politik. Hubungan antar
organisasi (inter-organizational linkages)
akan menemui perihal bagaimana
jaringan yang terbangun, dalam hal tipe, sifat, ketepatan keanggotaan (appropriate membership), utilitas (utility), koordinasi, dan keuntungan
yang diperoleh. Pengembangan kemitraan (partnerships),
akan bervariasi atas beragam tipe, sifat, dan potensi keberlanjutannya.
Kesuksesan organisasi seperti Gapoktan akan sangat bergantung pula pada
kapasitas kepemimpinan. Karena itu dewan pimpinan (ketua, sekretaris, sampai
dengan kepala seksi) sebaiknya dipilih dengan hati-hati. Ia harus bisa
melepaskan diri dari konflik kepentingan nya sebagai anggota dalam satu
kelompok tani (interests of their own
group).
Dalam memilih pemimpin atau pengurus di Gapoktan, maka capailah melalui
musayawarah (consensus), dimana tiap kelompok tani memiliki suara yang sama
dengan prinsip “one group, one vote"
principle. Agar lebih adil dan tumbuh rasa memiliki, tiap kelompok tani
diwajibkan membayar tabungan dalam Gapoktan. Untuk menghindari conflict of interest, maka pengurus di
Gapoktan sebaiknya bukan pengurus di kelompok tani. Di Indonesia, pengurus
Gapoktan hampir selalu menjadi pengurus di kelompok tani juga. Kepemimpinan
dalam Gapoktan tidak disebutkan secara tegas, sehingga saat ini banyak pengurus
Gapoktan yang adalah juga menjadi pengurus di kelompok tani. Dalam buku panduan
yang disusun FAO, semestinya hal ini dihindari, agar tidak terjadi konflik vested interest. Terjadinya tumpang
tindih kepengurusan karena hal ini tidak dibatasi dalam Permentan 273/2007.
Kesiapan
Kelompok tani untuk Bergabung dalam Gapoktan
Permentan
ini cenderung agak menggampangkan tentang proses penggabungan kelompok-kelompok
tani ke dalam Gapoktan. Pada bagian VI tertulis: “Kelompoktani yang berkembang bergabung ke dalam gabungan kelompoktani
“. Lalu, pada bagian 6.2.: “Penggabungan kelompoktani ke dalam GAPOKTAN
dilakukan agar kelompoktani dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, …..
Proses penggabungan begitu sederhana dan lebih bersifat ritual-formalitas,
yaitu: “ Pembentukan GAPOKTAN dilakukan
dalam suatu musyawarah yang dihadiri minimal oleh para kontak tani/ketua
kelompoktani yang akan bergabung, setelah sebelumnya di masing-masing kelompok
telah disepakati bersama para anggota kelompok untuk bergabung ke dalam
GAPOKTAN. …. Ketua GAPOKTAN dipilih secara musyawarah dan demokrasi oleh para
anggotanya, dan selanjutnya ketua memilih kepengurusan GAPOKTAN lainnya, Untuk
mendapatkan legitimasi, kepengurusan GAPOKTAN dikukuhkan oleh pejabat wilayah
setempat”. Narasi ini jelas terlau
ringkas, kurang jelas, dangkal, dan berkesan formal. Tidak jelas disini siapa
yang disebut anggota, dan juga pemilihan langsung yang terbatas hanya untuk
memilih ketua Gapoktan saja.
Bandingkan dengan berbagai buku panduan yang
cenderung hati-hati dan dengan penuh perhitungan. Menurut McKone (1998)
misalnya, kematangan kelompok tani
adalah satu prasyarat penting untuk
dapat diterima bergabung dalam Gapoktan. Kematangan ini terlihat dari dua hal,
yakni keinginan dan kemampuan (willing
and able to do so). Kelompok-kelompok yang bisa membentuk SFGA (= Gapoktan)
(McKone, 1998) mestilah: (1) Memiliki kepemimpinan yang baik, dan partisipasi
aktif anggota dalam pertemuan-pertemuan dan aktivitas, (2) Tingginya
solidaritas antar anggota, (3) Kejelasan aktivitas untuk sumber pendapatan (well-defined group income-generating
activities) dan kemandirian finansial yang tidak lagi tergantung dari luar,
(4) Kapasitas organisasi untuk memberikan keuntungan (valued benefits) dan pelayanan untuk anggotanya, (5) Kemampuan untuk
menata keuangan kelompok dengan efektif dan membayar hutang dengan cepat, (6)
Kecukupan kas kelompok (group savings)
untuk menutupi kebutuhan sendiri dalam segala bentuk resiko dan biaya yang
mesti ditanggung jika bergabung dalam SFGA, (7) Menunjukkan minat untuk bekerja
dalam inter-group cooperation, (8) Keyakinan
diri bahwa inter-group cooperation
akan memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang konkret bagi mereka.
Hanya kelompok
yang mampu menunjukkan kematangan dengan indikator di atas yang siap untuk
membentuk atau bergabung dengan SFGA. Untuk menuju kematangan tersebut,
langkah-langkah secara kronologis disederhanakan seperti gambar berikut. Tahap
pertama adalah dicapainya keanggotaan yang aktif (active membership), lalu dilanjutkan dengan berjalannya tabungan
kelompok (good savings), adanya
aktivitas yang memnguntungkan (provitable
activity), kepemimpinan yang cakap (good
leadership), maka terakhir akan dicapai kelompok yang matang (group maturity).
Masalah
keanggotaan dalam Gapoktan
Penyebutan
“anggota Gapoktan” diulang beberapa kali dalam dokumen ini, namun tidak bisa
dijelaskan apakah anggota dimaksud orang secara individual ataukah organisasi
(misalnya kelompok tani atau kelompok wanita tani).
Pada
bagian 6.1. tertulis: “Menumbuhkembangkan kreativitas dan prakarsa anggota
Gapoktan untuk memanfaatkan setiap informasi dan akses permodalan yang
tersedia”. Lalu, bagian 7.3.: “Balai penyuluhan pertanian perlu menyusun
catatan rekapitulasi … jumlah anggota kelompoktani dan GAPOKTAN”, dan dalam pelaporan disebutkan bahwa harus
mencakup “Jumlah anggota kelompoktani dan
GAPOKTAN” (point no. 2). Siapa yang disebut dengan anggota Gapoktan dalam
kalimat ini tidak jelas. Hal ini
menyebabkan kebingungan mulai dari pemilihan pengurus Gapoktan, yakni siapa
yang memiliki hak untuk memilih, apakah orang-orang ataukah kelompok tani.
Bertolak
dari konsep bahwa Gapoktan adalah sebuah bentuk secondary level organization, yang berada di atas kelompok tani,
maka anggotanya adalah kelompok tani, bukan orang-orang. Posisinya sama halnya
dengan Koperasi Sekunder yang berada di atas Koperasi Primer (lihat UU No. 25
tahun 1992).
Pada bagian
4.1.1. terbaca bahwa jumlah annggota kelompok tani adalah 20 sampai 25 orang,
namun berapa unit kelompok tani boleh masuk dalam satu Gapoktan tidak
disebutkan. Menurut satu panduan, jumlah anggota smal farmer group yang efektif cukup hanya 5 sampai 15 orang, sedangkan
jumlah organisasi dalam satu seperti halnya Gapoktan semestinya 5-10 organisasi
(FAO, 2001).
Kelemahan dalam memahami teori serta pendekatan
kebijakan yang juga cenderung memaksakan satu pendekatan tunggal, telah
menghasilkan berbagai dampak yang perlu diperhatikan, dan dilakukan koreksi di
masa yang akan datang. Berbagai dampak tersebut misalnya adalah:
Satu, kelemahan dalam menerapkan indikator dalam
penilaian organisasi. Karena keliru dalam mempersepsikan organisasi petani, maka keliru pula dalam
menilai kapasitasnya. Sebagai contoh, anggota yang belum menyadari pentingnya menghadiri
pertemuan kelompok dipandang sebagai masalah sosial. Indikator-indikator ini terlihat hanya mengedepankan aspek keorganisasian,
tanpa melihat apa kerugian bagi petani jika menggunakan cara-cara yang
sekarang. Selain itu, juga tampak kesan bahwa ada ”pemaksaan” untuk
berorganisasi. Banyaknya petani yang tidak berorganisasi merupakan masalah
sosial. Dapat dikatakan bahwa
indikator-indikator tersebut menggiring kepada kekeliruan dalam memahami kondisi
sesungguhnya. Kuesioner untuk menilai kelas kelompok tani yang terdiri atas lima indikator pokok,
yang lalu terpecah lagi menjadi puluhan variabel, juga merupakan hal yang perlu
diperbaiki.
Dua, tumpang tindih
organisasi petani.Tumpang tindih organisasi terjadi karena organisai
yang didirikan lebih sebagai kebutuhan pihak atas. Tumpang tindih yang utama
adalah antara Gapoktan dan koperasi. Dalam Permentan 273/2007 disebutkan bahwa “Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan menjadi
bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan
para petani anggotanya”. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, seperti apa
badan hukum dimaksud. Sampai saat ini pemerintah hanya mengakui badan hukum
untuk 3 bentuk yaitu perusahaan, yayasan dan koperasi. Tidak bisa dijelaskan
apakah jika kondisinya siap Gapoktan berubah menjadi koperasi, ataukah hanya
bagian tertentu yang masuk ke dalam koperasi.
Tiga, rendahnya
partisipasi petani karena kesan bahwa ini agenda pemerintah. Pada bagian VII
(Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan), kegiatan dilakukan sepenuhnya oleh aparat
pemerintah dan beberapa pihak lain, utamanya petugas penyuluhan. Dalam kegiatan
evaluasi juga tidak disebutkan peran petani dalam kegiatan ini.
Hasil kegiatan
McKone (1990) di berbagai negara,
menemukan streotipe cara kerja orang-orang pemerintah. Mereka umumnya
terlalu menyederhanakan (oversimplified)
dalam melihat komunitas di pedesaan. Petani diwajibkan untuk berorganisasi jika
ingin memperoleh bantuan. Dilaporkan bahwa: “…unless they are organized into cooperatives or associations or groups,
they will not get government subsidies or access to credit and technical
services. As a result, several FOs were established overnight on paper”
(Chamala dan Shingi, 2007). Akibatnya
sudah bisa diperkirakan, dimana berbagai organisasi petani hanya aktif selama
ada kegiatan pemerintah. Tidak berhasil diciptakan kerjasama (cooperatives) atau kemitraan (partnerships) dan mobilisasi sumberdaya setempat untuk pembangunan pertanian.
Umumnya hanya
kalangan elit petani yang dapat menikmati pelayanan penyuluhan, sementara
kalangan miskin dan perempuan hanya memperoleh sedikit. Khususnya untuk
pengembangan organisasi petani: “Very few
attempts were made to develop the management capacities of FO leaders, their
members, …..”. Penyebabnya adalah karena aspek teori organisasi khususnya community organization tidak dimasukkan
dalam program pelatihan petugas lapang. Kedepan, perlu pendekatan baru untuk mengorganisasikan petani dan membangkitkan kebutuhan bekerjasama (forming cooperatives need). Penyuluh
harus mempunyai kemampuan dalam hal mengorganisasikan komunitas (community-organizing) dan keterampilan
menajemen kelompok (group management
skills). Rendahnya partisipasi justeru karena kesalahan pihk pemerintah itu
sendiri (“…. authority and that inequity
in development was caused as much by governments as by any other cause).
Pemerintah bekerja dengan kegiatan yang didesain dari atas dan berharap dampak
akan menyebar otomatis (“….. most development projects which
have been designed from above and handed down to the participants on the
assumption that the benefits would
trickle down").
Tanpa sadar, kita menganut satu mitos tentang
keformalan organisasi. Memformalkan organisasi-organisasi petani
merupakan kebiasanaan kita sehari-hari, baik kalangan pemerintah maupun NGO.
Seluruh organisasi yang dilabeli
”tradisional” harus diganti dengan yang formal. Formalitas yang dianggap akan
menyelesaikan masalah dengan sendirinya adalah sebuah mitos. Faktanya,
relasi-relasi formal belum tentu nyaman bagi sebagian besar petani.
Bentuk-bentuk kepercayaan yang sebelumnya berbasiskan kepada etika dan norma
lokal, dirasakan asing bagi mereka ketika diandalkan kepada selembar kertas
perjanjian misalnya.
Menurut Meyer dan Rowan (2005):”... formal organizational structures arise
in highly institutional contexts”. Jadi,
organisasi formal hanya dapat hidup jika memang masyarakat tersebut telah
berada dalam etika dan cara hidup yang mengamalkan formalitas sebagai aturan
yang mengatur relasi antar warganya. Jika belum, maka oranisasi formal tidak
akan dapat bertahan.
Lima, organisasi petani merupakan alat untuk memperoleh proyek. Organisasi
formal menjadi wadah untuk berbagai pelaksanaan program dari pemerintah. Hampir
tidak ada bantuan pemerintah yang disalurkan langsung kepada individu.
Dampaknya adalah, misalnya bagi pemerintah daerah, maka semakin banyak
organisasi yang ada di wilayahnya, maka peluangnya memperoleh bantuan juga akna
semakin besar.
Bersamaan dengan itu, pada diri petani juga tumbuh
sikap bahwa organisasi hanya alat untuk mendapatkan bantuan. Secara sederhana apa yang
disebut dengan program pembangunan saat ini adalah pemberian bantuan, baik
berupa uang maupun material. Hal ini menyebabkan kegiatan pendampingan yang
hanya membawa pengetahuan kurang diminati petani. Masuk dalam organisasi pun bagi petani akhirnya hanya bermakna satu hal,
yaitu agar mendapat bantuan.
Ke depan, agar Permentan ini yang sesungguhnya
adalah sebuah dokumen pedoman penumbuhan dan pengembangan organisasi petani,
maka beberapa penyempurnaan sangat dibutuhkan. Beberapa point pokok yang harus
diperhatikan adalah: Satu, dokumen
ini semestinya dapat menjadi pedoman yang penggunaannya bisa lebih luas. Selain
mampu memberi pedoman untuk petugas pemerintah, secara tidak langsung juga
dapat digunakan oleh pihak lain, misalnya dari kalangan NGO dan bahkan dari
kalangan petani sendiri. Pengurus Gapoktan misalnya memiliki kewajiban dalam
penumbuhan dan pengembangan organisasi petani, meskipun bukan sebagai tugas
utama.
Dua, berbagai
kekeliruan penggunaan konsep mestilah diperbaiki, yakni dengan merujuk kepada
literatur-literatur yang teruji keilmiahannya. Ilmu sosial mestilah menjadi
basis kerangka pemikirannya.
Tiga, perlu disusun
ulang keseluruhan bagiannya, sehingga materi yang disampaikan dapat lebih dalam,
lebih detail, dan harus memberi kesan bahwa proses ini adalah sesuatu yang
serius. Sebagai dokumen pedoman, ia harus mampu memberi kejelasan bertindak (direction) dan dapat pula memberi
pengetahuan kepada petugas jika ada kekeliruan dalam prosesnya (evaluation), sehingga segera
diperbaiki.
Empat, untuk
memperoleh pemahaman yang benar dan utuh, maka penyempurnaan dokumen ini
membutuhkan dukungan dan bantuan berbagai pihak secara langsung. Pembahasan
penyempurnaannya perlu melibatkan kalangan akdemisi, peneliti, dan juga
praktisi serta pengguna secara terintegratif.
PENUTUP
1.
Permentaan
273 tahun 2007 masih terbatas kepada dokumen sebagai pedoman untuk petugas,
namun belum dapat menjadi pedoman untuk kalangan petani sendiri. Secara umum, pedoman
yang dicantumkan dalam Permentan ini cenderung dangkal, tidak detail,
memberikan kesan longgar, dan adanya beberapa kekeliruan. Penggunaan istilah
dalam legislasi ini cenderung membingungkan dan tidak mengikuti pengistilahan
dalam literatur yang terbaru. Hal ini berakibat pada ketidakefektifan dalam
pelaksanaan.
2.
Gapoktan
dipersepsikan sebagai sebuah “kelompok tani yang besar”, bukan sebuah interrelation organization yang bangun
keorganisasiannya sangat berbeda. Penjelasan tentang Gapoktan cenderung kurang jelas,
sehingga banyak terjadi masalah terutama tentang keanggotaan. Indikator yang
digunakan untuk menilai kapasitas kelompok tani terlalu sederhana termasuk persyaratan
kelompok tani untuk masuk ke Gapoktan.
Anonim.
2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005.
Bhandari,
Bhisnu B. 2003. Participaotory Ruaral Appraisal. Module 4. IGES (Institute for
Global Environemental Strategies. Hayama Kanagawa, Jepang. 20 hal.
Bourgeois,
Robin; Franck Jesus; Marc Roesch; Nena Soeprapto; Andi Renggana; and Anne
Gouyon. 2003. INDONESIA:
Empowering Rural Producers Organization.Rural Development and Natural Resources
East Asia and Pacific Region (EASRD)
Chamala, S and Shingi, P.M. 2007. Chapter
21 - Establishing and strengthening farmer organizations. FAO.
http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0n.htm.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Umum
Program Nasional Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri tahun 2008. Jakarta.
FAO.
2001. The Inter-group Resource Book: A Guide to Building Small farmer Group
Associations and Network. Food And Agriculture Organization Of The United
Nations, Rome.
Hellin, Jon; Mark Lundy;
and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and
Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007.
Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders.
October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research
Institute (IFPRI), Washington.
Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan
Kelompok Tani-Nelayan.
Korten,
D. C. 1980. Community organization and rural development: A learning process
approach. Public Administration Review, 40, 480-510
McKone,
CE. 1990. FAO People's Participation Programme - the First 10 Years: Lessons
Learnt and Future Directions. Human Resources
Institutions and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture
Organization of the United Nations, 1990.
Meyer,
Jhon and Brian Rowan. 2006. Institutionalized Organizations: Formal Structure
as Myth and Ceremony. Chapter 2 from « The New Institutionalism ». http://ssr1.uchicago.edu/PRELIMS/Orgs/orgs2.html
Peraturan
Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan
Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani.
Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian. Biro
Perencanaan Deptan dan PSEKP, Jakarta.
Roget's
New Millennium™ Thesaurus, First Edition (v 1.1.1) Copyright © 2005 by Lexico
Publishing Group, LLC. All rights reserved.
Stockbridge, M.,
A. Dorward, and J. Kydd. 2003. Farmer organizations for market access: A
briefing paper. Wye Campus, Kent, England: Imperial College, London.
Syahyuti. 2010. Lembaga
dan Organisasi Petani dalam Pengaruh Negara dan Pasar. Majalah Forum Agro
Ekonomi Vol. 28 No.1 tahun 2010.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992.
Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
The
American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition Copyright
© 2000 by Houghton Mifflin Company. Published by Houghton Mifflin Company. All
rights reserved.
Universalia.
2002. Short Guide for Organizational Assessment. http://www.universalia.com/files/samples/QABrochure.pdf, 18 Januari
2006.
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
Vogt,
Judth. F. and Kenneth L. Murrel. 1990. Empowerment in organizations: How to spark
exceptional performance. University Associates (San Diego, Calif.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar