Selasa, 05 Februari 2013

PENGORGANISASIAN SECARA PERSONAL DAN GEJALA INDIVIDUALISASI ORGANISASI SEBAGAI KARAKTER UTAMA PENGORGANISASIAN DIRI PETANI DI INDONESIA

Oleh: Syahyuti
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. A. Yani No. 70 Bogor
Email: syahyuti@yahoo.com
(Terbit dalam majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 30 No.2 Desember 2012)

Abstrak

Penjelasan tentang bagaimana petani menjalankan usaha pertaniannya selama ini terperangkap hanya pada teori dan analisis organisasi. Berbeda dengan ini, tulisan berikut menggunakan konsep dan teori dari pemahaman Kelembagaan Baru (New Institutionalism), dengan menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai objek yang paling pokok dan elementer dalam analisisnya. Melalui paham ini ditemukan pola pengorganisasian yang khas pada petani di Indonesia saat ini yakni gejala “individualisasi organisasi” yang merupakan fakta sesungguhnya dalam organisasi-organisasi formal milik petani. Gejala ini tidak terlihat jika menggunakan analisis organisasi. Sesungguhnya bentuk ini berakar dari pola pengorganisasian diri petani dahulu sebelum dikenal organisasi formal, yakni “pengorganisasian secara personal”. Kedua temuan ini muncul dengan menggunakan basis pemahaman bahwa petani adalah aktor sosial yang rasional-kreatif yang menggunakan berbagai sumberdaya lembaga dan organisasi sebagai modal dalam menjalankan usahanya. Ke depan, pemberdayaan petani semestinya memberi peluang kepada bentuk-bentuk lain selain organisasi formal, karena relasi sosial yang efektif tidak hanya berlangsung dalam organisasi formal.

Kata kunci: lembaga, kelembagaan, organisasi, pengorganisasian diri, pengorganisasian secara personal, individualisasi organisasi, petani
 

PENDAHULUAN

 Teori dan praktek pemberdayaan selama ini terbatas hanya pada pendekatan organisasi formal, baik pada kalangan pemerintah, Non Organization Organization (NGO), maupun kalangan akademisi. Mengelompokkan peserta program dipandang sebagai strategi yang paling tepat. Paham ini diturunkan dari literatur di perguruan tinggi yang mengembangkannya dari studi-studi terhadap masyarakat yang tergolong berhasil yang menjalankan kegiatannya dalam organisasi formal. Teori-teori pemberdayaan diturunkan dari teori organisasi, yang dikembangkan dari kasus-kasus yang berhasil belaka, dengan latar belakang pada masyarakat industri atau masyarakat petani pedesaan yang hidup di negara maju. Meskipun cukup banyak yang memaparkan organisasi petani, namun yang diangkat adalah organisasi petani di negara maju yang sangat berbeda latar belakangnya dengan di Indonesia. Sementara, penelitian tentang organisasi petani di negara berkembang yang kondisinya serupa terbatas hanya pada kasus yang berhasil (success story) saja.

Akibatnya, kegiatan pemberdayaan dengan berbasiskan teori tersebut mencapai hasil yang mengecewakan. Dalam kenyataannya, kelompok-kelompok dalam kegiatan pemberdayaan tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program. Di negara berkembang umumnya, sangat jarang petani berada dalam organisasi formal, dan jika pun ada kapasitas keorganisasian mereka sangat lemah (Bourgeois et al., 2003). Kondisi ini relatif serupa di banyak belahan dunia lain (Grootaert dan Bastelaer, 2001). Tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003).

   Akarnya masalahnya adalah karena penggunaan keilmuan yang basisnya kurang sesuai namun juga kaku pada diri pengambil kebijakan dalam memandang masyarakat desa (lihat misalnya Chambers, 1987; Nordholt, 1987; Pakpahan, 2004). Padahal secara sosiologis, dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual dan relasi dalam bentuk aksi kolektif. Relasi kolektif bisa dalam organisasi formal maupun non formal. Namun, dalam ilmu pemberdayaan selama ini dibatasi hanya berupa organisasi formal, sebagaimana mudah ditelusuri pada berbagai literatur maupun produk kebijakan pemerintah. Pendekatan ini tidak mengakui rasionalitas petani.

Tulisan ini berupaya membongkar kerangka pengetahuan ini dengan menggunakan pendekatan paham kelembagaan baru (new institutionalism) terutama dari pemikiran Scott (2008), yang merupakan perkembangan terakhir dari ilmu kelembagaan saat ini. Titik masuk dalam tulisan ini adalah konsep “pengorganisasian diri petani”, yakni bagaimana petani menjalin relasi dengan berbagai pihak dalam menjalankan usaha pertanian di pedesaan selama ini. Pengorganisasian dimaksud ditelaah  dengan teori ”lembaga” (institutions) dan ”organisasi” (organization). Kedua konsep ini dinilai paling dekat serta juga cukup kuat kaitannya untuk menjelaskan fenomena ini. Penelaahan harus masuk pada bagian yang paling elementer yakni individu dan relasi-relasi yang terbangun. Organisasi hanyalah salah satu bentuk dari sekumpulan relasi. Kelemahan analisis selama ini adalah karena berbasiskan kepada “organisasi”, padahal organisasi hanyalah salah satu model jejaring relasi sosial.

Tulisan ini merupakan review dari kajian teoritis dan praktek yang berasal dari berbagai sumber. Narasi diawali dengan penjelasan konsep, lalu dilanjutkan pemaparan tentang pengorganisasian diri petani dari dulu sampai sekarang, dan diakhiri dengan suatu analisis.

KONSEP PENGORGANISASIAN DIRI PETANI, LEMBAGA dan ORGANISASI

Konsep Pengorganisasian Diri

             Pengorganisasian diri merupakan upaya individu (petani) untuk menjalankan usaha dan hidupnya dengan membangun dan menjaga relasi sosial (social relation) secara relatif tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar dirinya. Seorang petani akan menjalin relasi dengan para pedagang penyedia benih dan pupuk, dengan buruh tani, dengan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, dengan pedagang pengumpul hasil pertanian, dan lain-lain termasuk dengan aparat pemerintah. Lawrence et al. (2009)  membahas konsep “pengorganisasian diri” ini sebagai: “ … the ways in wich individuals, groups, and organizations work to create, maintain, and disrupt the institutions that structure their lives”.

            Petani mengorganisasikan dirinya melalui beberapa pilihan. Ia dapat masuk kedalam organisasi atau dapat pula tidak. Jika tidak dalam organisasi, berarti petani mengorganisasikan dirinya di luar organisasi dalam format individual action.  Artinya, ia menggunakan relasi-relasi yang berbasis pasar, bukan relasi berbasis organisasi (collective action). Petani memiliki kuasa dan mampu memutuskan dengan siapa ia melakukan transaski dan menjalin interaksi untuk menjalankan usaha pertaniannya.

            Jadi, pengorganisasian diri petani pada hakekatnya adalah suatu jejaring yang berisi sejumlah ”relasi sosial” yang saling terhubung di sekitar diri seorang petani. Jejaring seorang petani mungkin sama polanya dengan petani lain, namun orang-orang yang berada dalam jejaringnya dapat sebagian sama dan sebagian berbeda, atau berbeda sama sekali. Dalam setiap relasi sosial terkandung materi, dimana setiap relasi merupakan satu yang berpola, dijaga, diulang, dan dimantapkan oleh petani dalam kesehariannya.

            Pola ini sama-sama berlaku sebenarnya baik dalam organisasi maupun di luar organisasi, yakni pada sistem pasar. Pada seorang petani yang masuk ke dalam organisasi formal sekalipun, ia tidak hanya berhubungan dengan sesama anggota dan pengurus dalam organisasi tersebut. Ia juga tetap menjalin relasi dengan orang-orang lain. Tidak ada petani di Indonesia yang seluruh hidupnya dijalankan dan digantungan hanya pada organisasi formal.  Yang terjadi justeru sebaliknya, meskipun seorang petani telah masuk dalam organisasi formal, namun hampir seluruh aktivitas agribisnisnya dijalankan dari relasi dengan orang-orang di luar organisasi. Artinya, ia tetap mengandalkan pada individual action, bukan pada collective action.

Meskipun secara administratif sudah jutaan petani masuk ke dalam organisasi, namun sesungguhnya tidak aktif (Bourgeois et al., 2003). Hampir semua urusan pertanian mulai dari memperoleh sarana usaha sampai dengan pemasaran, lebih sebagai tindakan-tindakan individual. Meskipun menjadi anggota, mereka tidak mengandalkan organisasi, karena tahu tidak banyak yang bisa diharapkan dari kemampuan organisasi selama ini.

 Konsep Organisasi dan Keorganisasian

             Konsep “pengorganisasian diri” sangat berbeda dengan konsep “organisasi”. Organisasi (organization) adalah kelompok sosial yg sengaja dibentuk oleh sekelompok orang, memiliki anggota yang jelas, dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, dan memiliki aturan yang dinyatakan tegas (biasanya tertulis). Organisasi adalah aktor sosial dalam masyarakat sebagaimana halnya individu. Contoh organisasi petani adalah koperasi, kelompok tani, Gabungan Kelompok Tani, dan kelompok wanita tani. Organisasi merupakan salah satu bentuk cara petani mengorganisasikan dirinya. ”Organisasi” merupakan elemen dari lembaga (Scott, 1995; 2008), sebagaimana juga paham dalam Teori Ekonomi Kelembagaan Baru. Organisasi adalah suatu social group yang merupakan aktor sosial, yang sengaja dibentuk untuk tujuan tertentu, memiliki anggota secara jelas, dimana aturan dinyatakan dan ditegakkan secara lebih tegas.

            Sementara, keorganisasian (organizational) adalah hal-hal berkenaan dengan organisasi. Disini tercakup misalnya perihal kepemimpinan dalam organisasi, keanggotaan, manajemen,  keuangan organisasi, kapasitas organisasi, serta relasi dengan organisasi lain.

Konsep Lembaga dan Kelembagaan

             Khusus untuk lembaga (institution), tidak sebagaimana dipahami selama ini, lembaga merupakan hal-hal yang menjadi penentu dalam perilaku manusia dalam masyarakat yakni berupa norma, nilai-nilai, aturan formal dan nonformal, dan pengetahuan kultural (Scott, 2008). Keseluruhan ini menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi), memberi peluang (empower) namun sekaligus membatasi (constraint) aktor. Seorang petani dapat saja menjalankan hidupnya (=mengorganisasikan dirinya) hanya dengan berpedoman pada lembaga. Tanpa perlu organisasi (formal) petani bisa menjalannkan usaha dan hidupnya. Sementara, kelembagaan (institutional) adalah  segala hal yang berkenaan dengan lembaga.

Sebagaimana dijabarkan secara panjang lebar dalam Syahyuti (2010), kata ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”, dan ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”.  “Lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor (Scott, 2008: 48). Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan (order) dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah.

Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia sukai (DiMaggio and Powell, 1991). Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and obligatory dari kehidupan sosial (Blom-Hansen, 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup. 


PENGORGANISASIAN SECARA PERSONAL SEBAGAI KARAKTER PENGORGANISASIAN DIRI PETANI INDONESIA MASA LALU

 Sebelum dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan dirinya (self organizing) sedemikian rupa, dengan menyesuaikan pada kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial politik yang ada. Mereka mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup ekonominya.  Mereka membangun dan menjalankan berbagai relasi sosial atas berbagai basis relasi. Ada empat basis relasi yang terbangun, dimana antara keempatnya satu sama lain saling tumpang tindih. Salah satu bentuk yang selama ini dari berbagai penelitian disebut sebagai “organisasi tradisional” adalah apa yang Saya sebut dalam tulisan ini hanya sebagai “pengorganisasian secara personal”. Ia bukan organisasi sebagaimana kita kenal dalam literatur teori organisasi. Sebutan sebagai “organisasi tradisional” lahir karena menggunakan konsep dan teori organisasi sebagaimana dalam buku-buku teks selama ini.

Pertama, basis relasi patron-klien. Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara dua peran, yang melibatkan seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya (Scott, 1993). Hubungan patron-klien ini misalnya ditemukan pada masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan (Putra, 1988), yakni antara “Karaeng sebagai patron dan “Ana-Ana sebagai klien; juga di Jawa Barat yakni pada masyarakat suku Sunda (penelitian Adiwilaga dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984). Semenjak era Revolusi Hijau tahun 1980-an, pranata distributif dan hubungan patron klien ini telah melemah (Wahono, 1994), yang diindikasikan oleh penerapan upah uang tunai dan  sistem “tebasan” dalam kegiatan panen.

Kedua, relasi berbasiskan sentimen kekerabatan. Disamping patron-lien, eksis pula relasi yang berbasiskan etika jaminan subsistensi berupa sentimen primordial. Hidup berkelompok satu kerabat berdasarkan ikatan genealogis merupakan kelaziman, dimana keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) merupakan dua level kelompok sosial yang memiliki fungsi langsung dalam urusan mata pencaharian anggotanya. Dalam kedua kelompok ini, terutama dalam keluarga inti, setiap individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya untuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan keamanan hidupnya (Koentjaraningrat, 1974).

Dalam suatu kelompok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta produktif , harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu. Penelitian Syahyuti (2002) pada masyarakat pinggiran hutan di Sulawesi Tengah menemukan bahwa sentimen sesuku dan sub suku (suku Bugis dan Kaili) merupakan sumber daya yang penting bagi petani untuk mendapatkan lahan garapan. Hal ini diperkuat Shanin (1990) yang menyatakan bahwa pada eksistensi ”ekonomi peasant”, solidaritas keluarga menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu, saling mengontrol dan sosialisasi.

Ketiga, basis sentimen teritoral. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Scott (1993) pada masyarakat prakapitalis di Asia Tenggara, komunitas hidup sedesa menjamin kehidupan minimum warganya melalui berbagai pengaturan  yang mengedepankan prinsip mendahulukan selamat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara individual ada pada patron-patron yang ditekan oleh lembaga desa sebagai pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk “desa komunal” (Temple, 1976), yang menciptakan jaminan kehidupan minimum bagi seluruh warganya dengan jaminan semua anggota desa bisa mengambil bagian dalam proses produksi. Tjondronegoro (1974) menemukan kondisi ini pada level yang lebih kecil yakni pada kesatuan hidup sedusun (yang disebut dengan ”sodality”).

Ciri komunalitas hidup sedesa sangat terasa, yang secara tidak langsung dibentuk oleh corak penguasaan tanahnya yang juga komunal. Dalam pola ini, petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat sedesa (Brewer, 1985).

Keempat, pengorganisasian secara personal. Pada banyak wilayah di pedesaan, ditemukan tipe pengorganisasian, dimana alih-alih membentuk satu organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa orang pengurus, masyarakat desa cenderung menunjuk satu orang untuk menangani satu urusan yang berkaitan dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang memberikan penugasan kepada satu orang dan melengkapinya dengan otoritas yang penuh. Bukan sebagaimana organisasi formal dalam literatur, dimana ada sekelompok orang dengan kekuasaan yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang; pelaksanaan tugas hanya dijalankan oleh seorang belaka (“pengorganisasian secara personal”).

Hal ini menonjol dalam pengelolaan air irigasi. Pimpinan subak di Bali, yang disebut dengan “pekaseh”atauKlian Subak” mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan aturan yang ada (awig-awig) (Teken, 1988). Meskipun dalam berbagai literatur, seorang Klian Subak disebut dengan pimpinan atau Ketua Subak, namun posisi dan kewenangannya tidaklah sebagaimana ketua dalam organisasi formal yang kita kenal. “Organisasi” yang menata keseluruhan fungsi subak itu sendiri melekat hanya pada diri seorang Klian Subak. Semua petani lebih mengenal dirinya, bukan pada “organisasi” nya, meskipun ia juga dibantu oleh beberapa orang tenaga lain.

Pola seperti ini juga ditemukan pada sosok seorang “Ulu-Ulu” di wilayah Jawa Barat, dan seorang “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat. Dengan legalisasi dari seluruh petani di komplek persawahan tertentu, ia berkuasa penuh dalam mengatur air, membaginya, menjaga saluran, dan bahkan menghukum petani yang melanggar. Namun, Ulu-Ulu dan Kapalo Banda bukanlah sebuah organisasi. Ia hanyalah seorang petugas yang diberi turgas dan kewenangan mengelola pengairan pada satu wilayah persawahan. Meskipun ia memiliki pembantu, namun tanggung jawabnya penuh dan langsung kepadanya belaka.

Saat ini, meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun bentuk-bentuk basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walaupun terbatas. Pada waktu bersamaan, saat ini telah eksis pula organisasi-organisasi formal petani, namun struktur dan kultur di dalamnya tidaklah sebagaimana pola ideal secara teoritis.

 
GEJALA INDIVIDUALISASI ORGANISASI PADA ORGANISASI PETANI DI INDONESIA SAAT INI

 
Gejala “individualisasi organisasi” pada organisasi petani merupakan gejala yang umum dijumpai.  Meskipun dari permukaan seolah organisasi dijalankan sesuai dengan prosedur yang tertulis, namun sesungguhnya hanya dijalankan oleh segelintir pengurus, bahkan cenderung hanya oleh satu orang, biasanya adalah ketua organisasi bersangkutan.

Dalam aktivitas sehari-hari, bahkan sering sulit memisahkan antara kegiatan pribadi ketua dengan kegiatan organisasi. Artinya, berlangsung proses ”privatisasi atau ”individualisasi organisasi” pada diri pimpinan organisasi. Organisasi menjadi identik dengan ketuanya belaka. Keberadaan dan eksistensi pengurus organisasi jauh lebih nyata dibandingkan organisasi itu sendiri. Selain bahwa ketua lah yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, keberhasilan sebuah organisasi juga diidentikkan sebagai hasil kerja keras si ketua belaka.

Dalam penelitian pada petani di wilayah Jawa Barat (Syahyuti, 2012), petugas penyuluh lebih hafal nama ketua kelompok tani dibandingkan dengan nama kelompok taninya. Jika ada sesuatu yang harus disampaikan dan disikusikan, maka dengan mengkomunikasikannya dengan ketua, dianggap telah mewakili organisasi. Jika ada masalah berkenaan dengan administrasi misalnya, petugas akan memanggil dan mendiskusikan dengan ketua, bukan dengan sekretaris yang semestinya bertanggung jawab. Ketua memahami posisi ini, dan ia menjalankan organisasi dalam kerangka makna tersebut. Dalam persepsi ketua, maju mundurnya organisasi tergantung pada dirinya. Demikian pula persepsi yang berkembang pada pengurus dan anggota, dimana keberhasilan sebuah kelompok tani, sebutlah terpilih sebagai kelompok tani teladan, semata-mata dipandang sebagai keberhasilan ketua.

Gejala ini terbentuk setidaknya karena empat alasan, yaitu: Satu, karena jumlah dan tingkat tugas yang harus diemban cukup mampu dijalankan oleh satu orang pengurus saja. Pada kelompok tani yang masih pemula misalnya, seringkali tidak banyak aktivitas yang harus dilaksanakan. Selain itu, banyak keputusan seringkali juga bisa ditetapkan sendiri oleh ketuanya tanpa mendiskusikan dengan pengurus lain, mungkin karena sudah sejalan dengan misi dan aturan kelompok tani, sehingga tidak perlu lagi didikusikan. Kewenangan yang ada padanya cukup untuk mengambil keputusan langsung dan mandiri.

Aktivitas organisasi petani cenderung sederhana dan sangat terbatas. Jika dikomparasikan dengan teori, organisasi terlihat lemah dalam banyak sisinya misalnya dalam hal penyusunan perencanaan organisasi, pertemuan rutin, pencatatan administrasi, keuangan organisasi, dan kegiatan monitoring dan evaluasi internal.  Kinerja organisasi sangat terbatas, dan aktivitas keorganisasian cukup mengandalkan kepada ketua dan beberapa orang pengurus. Jika diukur menurut teori-teori organisasi, organisasi-organisasi milik petani dapat disebut sangat lemah, bahkan bisa digolongkan sebagai “disorganized” atau 'not organized'. Pergantian pengurus juga sangat jarang dilakukan, karena ada gejala dimana umumnya petani menolak menjadi pengurus, bahkan cenderung takut (Syahyuti, 2010).

Jika dikembalikan kepada indikator kemampuan kelompoktani yang saat ini diterapkan di jajaran Kementerian Pertanian, maka kondisinya relatif lemah untuk kelima indikator, yakni kemampuan merencanakan, melaksanakan, pemupukan modal, meningkatkan relasi dengan organisasi lain, serta kemampuan menerapkan teknologi. Selain secara internal, kondisi organisasi milik petani lemah, jaringan antar organisasi juga terbatas. Ini juga ditemukan Lema dan Kapange ( 2006) di Tanzania, dimana tidak ada koordinasi antar organisasi petani (farmer organization): “….. FO tends to operate informally and do not comply with official legal requirements” (p. 77).

Dua, pengurus dan anggota memberikan kepercayaan penuh kepada ketua untuk memutuskan sendiri dengan kewenangan penuh bagaimana berjalannya organisasi sehari-hari. Nilai dan norma di masyarakat desa yang cenderung memiliki tingkat kepercayaan (trust) tinggi menjadi modal bagi ketua untuk menggerakkan organisasi. Sebaliknya, dari pihak pengurus lain dan anggota, mereka percaya bahwa ketua adalah orang yang dapat dipercaya dan mampu menjalankan organisasi ke arah yang benar. Alasan ini pulalah yang dalam kasus tertentu menyebabkan terjadinya penyelewengan keuangan misalnya, karena pengawasan (self critics) dari pengurus dan anggota cenderung lemah.

Tiga, organisasi menerapkan prosedur non formal. Hal ini ditemukan Bourgeois (2003) di Indonesia, yang juga didukung temuan Lema dan Kapange ( 2006) di Tanzania, dimana farmer organization (FO) berjalan secara non formal. “FO tends to operate informally and do not comply with official legal requirements” (p. 77). Secara sepintas, mereka menjalankan organisasi formal, namun jika digali lebih dalam sesungguhnya banyak prosedur dan manajemen yang berbeda dengan panduan formal semestinya.

Manajemen non formal disini dimaknai sebagai terciptanya prosedur dan struktur lain dalam organisasi formal namun tidak mengikuti aturan yang ada atau tidak sebagaimana semestinya (merupakan suatu mismanajemen). Hal ini terbentuk secara spontan (evolving constantly), berakar dari bawah (grass roots), dinamis dan responsif, memposisikan manusia sebagai individual, bersifat datar dan mengalir (flat and fluid), dan bertahan karena adanya kepercayaan dan resiprositas (trust and reciprocity). Respon ini sesuai untuk situasi yang berubah cepat dan seringkali tidak mudah dipahami.

Empat, organisasi menerapkan kultur pragmatis. Pendekatan yang kurang memberi kematangan proses organisasi menyebabkan tidak berkembangkan kultur organisasi secara mandiri. Dalam dokumen-dokumen organisasi, baik struktur, nilai, visi, norma, maupun manajemen organisasi menggunakan pedoman yang sudah baku dan bersifat umum seluruh Indonesia. Setiap organisasi petani harus mengadopsi pedoman ini.

Namun, dalam perkembangannya, organisasi tidak menjalankan organisasi sesuai dengan prosedur tersebut. Organisasi petani cenderung mengembangkan kultur yang pragmatis (pragmatic culture). Kuatnya tekanan luar, sementara permasalahan internal organisasi berkembang ke arah yang beragam, maka pengurus organisasi menjalankan kultur yang cenderung kooperatif. Organisasi lebih mengutamakan kepuasan pihak-pihak lain (their clients) terutama pemerintah, meskipun sesungguhnya tidak mengikuti kesepatakan dan prosedur yang telah dituliskan dalam dokumen.

Peran aktor dalam organisasi dan fungsi bagian-bagian organisasi telah bergeser. Respon seperti ini karena terlalu kuatnya tekanan lingkungan, juga ditemukan Wijayaratna (2002) di Nepal, dimana organisasi-organisasi petani mengambil sikap pragmatis (“form follow function”). Organisasi melakukan adaptasi ketika terjadi perubahan kondisi lingkungan sosial dan kulturalnya. Ciri karakteristik organisasi dengan kultur pragmatis ini adalah dimana hasil lebih diutamakan dibandingkan prosedur, dan organisasi dipandang sebagai struktur network yang mengalir (fluiding network structure). Organisasi melakukan adaptasi terhadap tekanan dan kebutuhan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang berlangsung.

Karakter non formal dan kultur pragmatis terjadi karena begitu kuatnya tekanan lingkungan kepada organisasi, terutama dari pihak pemerintah. Hal ini menyebabkan sempitnya ranah organsasi (organization field). Individualisasi organisasi merupakan respon terhadap kuatnya tekanan tersebut, yang oleh pengurus organisasi lalu dipadukan secara cerdik dengan kebutuhan internal, atau setidaknya pemaknaannya (self meaning) terhadap permasalahan dan kebutuhan internal organisasi.

Salah satu dampak dari individualisasi organisasi ini adalah organisasi biasanya langsung menurun kinerjanya jika terjadi pergantian ketua. Bagi anggota lain merupakan sebuah tindakan yang kurang beretika jika menggantikan kedudukan seorang ketua yang dianggap telah banyak berjasa. Rasa sungkan dan enggan menyebabkan sulitnya berlangsung reposisi dan regenerasi dalam organisasi. Merupakan hal yang umum, dimana seorang ketua yang dianggap sukses memimpin organisasi sampai belasan bahkan puluhan tahun (Saptana et al., 2003)

 
PROSES EVOLUSI PENGORGANISASIAN DIRI PETANI

Kedua bentuk pengorganisasian diri di atas sesungguhnya berlangsung sebagai sebuah evolusi yang terjadi secara kronologis. Pengorganisasian secara personal berlangsung dahulu ketika belum diintroduksikan organisasi-organisasi formal oleh pemerintah. Organisasi formal diperkenalkan dan menjadi satu-satunya bentuk pengorganisasian diri petani semenjak era Bimas sampai Insus dan Supra Insus, sehingga saat terakhir ini.

Selanjutnya individualisasi organisasi merupakan sebuah gejala yang berlangsung setelah berbagai organisasi diperkenalkan dan diintroduksikan. Ini merupakan reaksi kritis dari petani menghadapi keharusan untuk hidup dalam organisasi. Format dan struktur organisasi formal dengan segala etika dan prosedurnya tampaknya dinilai terlalu berlebihan oleh petani, padahal urusan yang harus dijalankan tidak membutuhkan manajemen yang kompleks tersebut (Saptana et al., 2003).

Jadi, urutan proses terbentuknya bentuk-bentuk pengorganisasian diri ini adalah dimulai oleh bentuk pengorganisasian secara personal, lalu diintroduksikan bentuk organisasi formal, namun akhirnya yang banyak berlangsung secara riel adalah gejala individualisasi organisasi. Matrik berikut memaparkan perbedaan ketiga karakter pengorganisasian diri tersebut.

Dari sisi alasan terbentuknya pola demikian, terdapat alasan yang sama yakni kemudahan atau efisiensi. Dengan beban tugas yang dipersepsikan tidak rumit, maka dengan memberikan tugas mengatur pengairan hanya kepada seorang saja dipandang sebagai sebuah cara yang rasional. Demikian pula dengan gejala mengapa akhirnya cukup seorang ketua kelompok tani saja yang menjalankan kelompok tani. Disrtibusi kekuasaan pada hakekatnya adalah memusat (centralized),  namun hal itu dipandang lebih menjamin tersedianya pelayanan bagi anggota.

 
Tabel 1. Matrik perbedaan bentuk dan karakter antara pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi

 
Aspek
Pengorganisasian secara personal
Organisasi formal
Gejala individualisasi organisasi
Masa terbentuknya
Dahulu, sebelum diintroduksikan organisasi formal oleh pemerintah
Masa revolusi hijau, mulai dari era Bimas, Insus, Supra Insus, dan sampai sekarang
Setelah diintroduksikan organisasi formal.
Alasan terbentuknya
Secara alamiah, dengan alasan efisiensi manajemen
Sesuai dengan teori organisasi yang diadopsi oleh pemerintah
Merupakan respon kritis terhadap format organisasi formal yang dipandang kurang sesuai dan tidak efisien
Ciri kepemimpinan
Mutlak, hanya di tangan satu orang (mis. “Kapalo Banda” dan “Ulu-Ulu”)
Bersifat kolegial
Secara faktual bertumpu pada seorang pengurus organisasi saja
Distribusi kekuasaan
Sentralisasi pada satu orang penanggung jawab
Terdistribusi antara ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan lain-lain pengurus organisasi
Secara faktual tersentralisasi, karena hanya dijalankan satu orang pengurus, biasanya ketua organisasi
Peran dan sosok pemimpin
Lebih sebagai penerima beban dan penanggung jawab operasional
Demokratis dan  prosedural sesuai AD dan ART
Kurang demokratis dan tidak prosedural. Semua urusan ditangani sendiri, termasuk peran pengurus organisasi yang lain
Posisi anggota
Petani adalah pihak yang memberikan “tugas” dan menyerahkan kuasa penuh kepada pengurus
Kuat secara administratif, sesuai dengan AD dan ART organisasi
Lemah dan pasif. Anggota merasa berhutang budi kepada jasa ketua organisasi
Masa kepengurusan
Lama, sering tidak terbatas
Terbatas, biasanya 3-4 tahun, sesuai dengan AD, ART dan rapat angota
Faktanya masa kepengurusan lebih lama dari ketentuan, dan sering tidak diganti sampai belasan tahun

 
Khusus untuk kepemimpinan, gambar berikut ini memvisualisasikan kondisi yang terjadi. Pada bentuk pengorganisasian secara personal, kekuasaan terbesar hanya pada seorang saja, yakni “Kapalo Banda” atau  “Ulu-Ulu”. Jika pun ada orang lain yang membantu, posisinya adalah pembantu yang tidak diserahi beban khusus. Seorang penjaga pintu air misalnya tidak dapat dimintakan tanggung jawab oleh petani, karena ia bertanggung jawab ke atas yakni kepada “Ulu-Ulu” secara penuh.
 
 
 
 
Gambar 1. Perbedaan posisi dan kuasa pemimpin  pada bentuk pengorganisasian secara personal, organisasi formal, dan gejala individualisasi organisasi
 Gejala individualisasi organisasi tidak terlihat di permukaan, dan cenderung disembunyikan. Hal ini merupakan suatu yang tidak prosedural dan merupakan keputusan non formal yang hanya menjadi kesepakatan diam-diam, dan tidak terbaca pada berbagai peraturan dan kesepakatan dalam organisasi. Ini merupakan reaksi dari tekanan formal yang dihadapinya.
Petani menghadapi tekanan formalitas (formalitas pressure) dalam hidup sehari-hari. Intervensi organisasi (organisational interventions) memberi kerangka kepada perilaku petani . “…. like institutions, organisations provide a structure to human interaction - but they are the players of the game rather than the rules” (North, 2005).
Bagi petani, lingkungan formal tidak selalu merupakan kondisi yang kondusif. Dalam posisi dimana sebagian besar petani tidak berorganisasi secara formal, atau hanya organisasi yang belum kuat; maka lingkungan formal lebih terasa sebagai mengucilkan mereka. Penelitian White (1997) di dua wilayah di dataran tinggi di Jawa Barat menemukan bahwa pola relasi berupa kontrak yang dijalankan dalam organisasi tidak selalu menguntungkan untuk mereka, baik pada petani kelapa maupun peternak sapi perah.
Organisasi formal sebagai strategi yang cenderung menjadi “keharusan” terbaca pada berbagai peraturan, pedoman, dan petunjuk teknis yang dikeluarkan pemerintah, terutama pada instansi Kementerian Pertanian. Pada Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Tahun 2011 misalnya, pada bagian tujuan disebutkan bahwa PUAP bertujuan untuk “meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan” (point d). Lalu, pada bagian sasaran disebutkan, sasaran PUAP adalah juga berkembangnya 10.000 Gapoktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani untuk menjadi kelembagaan ekonomi (point b).
Berikutnya, pada dokumen Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dana bantuan Sosial TA 2011 Ditjend Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kemtan. Pada bab II (Mekanisme Penetapan Kelompok), bagian sasaran, disebutkan bahwa “kelompok sasaran ialah kelompok yang telah ada dan menjalankan usaha agribisnis dan atau ketahanan pangan ….”. Lalu, pada bagian selanjutnya ditambahkan persyaratan: “Peternak atau warga masyarakat sasaran sebagai penerima Dana Bantuan Sosial, yaitu anggota kelompok sasaran yang ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota”.
Contoh berikutnya, Permendagri No 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pada Pasal 7 ayat 1 dan 2 tebaca bahwa hibah kepada masyarakat diberikan dengan persyaratan paling sedikit ...memiliki kepengurusan yang jelas, dan telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya 3 tahun.
Organisasi formal dipilih pemerintah, karena negara adalah sebuah organisasi formal yang basis manajemennya adalah formalitas dalam segala sisi aktivitasnya. Untuk menjalankan pembangunan pertanian, pemerintah merasa tidak cukup jika hanya memberi benih, pupuk, dan lain-lain; namun juga mengendalikan petani. Artinya, pemerintah berupaya mengorganisasikan diri petani. Pemerintah ingin mengendalikan petani, apa yang harus ditanam petani, bagaimana menanamnya, dan dengan siapa petani semestinya berhubungan. Menggiring petani masuk kedalam organsiasi formal (misal kelompok tani) merupakan bentuk untuk pengendalian tersebut. Organisasi formal merupakan alat untuk berhubungan dengan petani. Relasi antar organisasi yang berjalan dalam suasana formal diyakini akan lebih efektif, karena lebih terkontrol dan dapat diduga (predictable).
Kondisi yang berlangsung merupakan hasil dari format politik pertanian Indonesia yang mensubordinasi petani yang  sejak dahulu. Pada era kerajaan, petani pada hakekatnya adalah “milik raja” yang bekerja di tanah raja. Demikian pula di era kolonial, dimana bahkan petani harus menjadi penyewa, karena semua tanah adalah milik pemerintah (Fauzi, 2002). Lalu, pada era Orde Baru dalamformat modernisasi,  petani menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk industri (Martinussen, 1997). Sesuai dengan Martinussen (1997),  organisasi telah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk berpartisipasi, namun dalam konteks untuk memudahkan kontrol oleh negara.  “… participation was carefully organized and controlled (p. 232).
Fenomena ini sejalan dengan Teori Urban Bias dari Lipton (1977), yakni adanya konflik antara rural classes dengan urban classes, dan gejala “bureaucratic polity” (Jackson and Pye,  1978). Semenjak Orde Baru, petani menghadapi kekuatan yang sulit dihadangnya. Hal ini dituliskan secara jelas oleh Bourgeois (2003: 6), yaitu: “ Their aspirations, what they would really like to achieve and how they would like to develop their activities, are constrained by the fact that they face stakeholders (government, traders) whose logics are different and prevail in the current socio-political and economic system”. Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap pasif pada petani, sehingga organisasi petani (rural producer’s organization) yang terbangun bukan merupakan ekspresi diri petani itu sendiri.
Tanpa sadar berlangsung proses penghancuran komunitas karena introduksi relasi-relasi formal ini (Saptana et al., 2003). Pada beberapa lokasi, khusus untuk organisasi yang dapat disebut berhasil, antara pemerintah dan petani berhasil ditumbuhkan sikap kepemilikan bersama (sense of shared ownership) (Wijayaratna, 2002). Dalam kondisi ini, organisasi disadari oleh petani sebagai “milik bersama” antara dirinya dengan pemerintah.
Sikap mengintorduksikan organisasi formal ke petani seperti ini telah banyak menuai perdebatan. Dari penelitian pada lima kesatuan wilayah irigasi (di Thailand, Myanmar, Vietnam dan Sri Langka), Perera menemukan bahwa petani tidak berorgansiasi secara formal namun terbukti mampu mengelola pengairan dengan efektif. “In many cases they are not organization at all” (Perera, 2004).  
 
RESPON RASIONAL-KREATIF PETANI TERHADAP LINGKUNGAN KELEMBAGAAN SEBAGAI DASAR TERBENTUKNYA PENGORGANISASIAN DIRI PETANI
 Merupakan hal yang menarik menjelaskan mengapa petani menjalankan hidupnya (mengorganisasikan dirinya) dengan cara demikian? Mengapa petani menjalankan prosedur yang non formal dan berlangsung gejala individualisasi organisasi?  Dalam menjalankan usaha pertaniannya, petani menghadapi kerangka kelembagaan (institutional framework) yang memberi batasan sekaligus pedoman baik dalam posisinya sebagai individu maupun sebagai anggota dalam satu organisasi. Lingkungan utama yang dihadapi petani tersebut adalah regulasi pemerintah yang berkenaan dengan berbagai sisi pembangunan pertanian.
Pada sebagian besar literatur, mengapa petani memilih tidak berorganiasi selalu menyalahkan petani, yakni “karena kesadaran yang kurang”. Jawaban ini datang dari sikap empati yang lemah terhadap petani, dan censerung sepihak yang kaku dengan teori organisasi. Namun, disini penulis mencari penjelasan penyebab ini pada diri petani sendiri sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Sesuai konsep kelembagaan baru (Scott, 2008; Nee, 2005), petani adalah aktor sosial yang rasional-kreatif. Petani diyakini mampu mengambil keputusan apa yang terbaik untuk dirinya, yakni dengan siapa ia akan berinteraksi dan bagaimana pola pengorganisasian dirinya sebagai keputusan dirinya sendiri. Dalam menetapkan pilihannya, petani mempertimbangkan sekaligus dan secara bersamaan antara tekanan pemerintah dan pasar, serta terhadap komunitas.Bottom of Form
 Menghadapi lingkungan kelembagaan yang melingkupinya dan pemaknaan aktif aktor terhadap lingkungan, melahirkan berbagai bentuk respon.
Tekanan Formalitas Dari Negara, Norma Ekonomi Pasar, dan Norma Hidup Dalam Komunitas
Masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan manusia berperilaku dengan melihat pada aturan-aturan tersebut.  Manusia akan berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya, dengan menggunakan atau berkelit dari aturan-aturan yang ada tadi. Objek perhatian pada bagian ini adalah aturan (rule) yang ada, dan “keuntungan apa” yg akan diperoleh pelaku dalam bertindak (Portes, 2006). Dalam perspektif ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional. Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup. 
Selain pemerintah dan pasar, petani juga mempertimbangkan norma hidup berkomunitas. Parsons menyebutkan bahwa ”sistem normalah yang mengatur relasi antar individu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008). Pada prinsipnya, norma (how things should be done) akan menghasilkan preskripsi,  bersifat evaluatif, dan melahirkan tanggung jawab dalam kehidupan aktor di masayarkat. Norma memberi pengetahuan apa tujuan kita, dan bagaimana cara mencapainya. Norma bersifat membatasi (constraint) sekaligus mendorong (empower) aktor. Kompleks norma pada hakekatnya menjelaskan apa kewajiban bagi aktor (supposed to do).
Norma dapat menjadi sumberdaya yang kuat dalam menjalankan usaha pertanian dan kehidupan. Norma merupakan jalan yang efisien untuk mencapai kesejahteraan, mengatasi kegagalan pasar, dan menekan biaya sosial. Norma juga dapat mengatasi permasalahan tindakan kolektif.  Norma-norma ini cukup bagi petani untuk menjalankan usahanya tanpa membutuhkan organsisasi formal, yakni berupa norma-norma kekerabatan dalam sentimen primordial, norma-norma hidup dalam komunitas, norma-norma berkenaan dengan relasi dengan orang luar terutama dengan pemerintah, serta norma-norma berkenaan dengan relasi pasar.
Petani melakukan pemaknaan dan respon aktif terhadap aturan dan norma. Petani membangun sikap berbeda antara relasi dengan pasar dengan relasi dengan petugas pemerintah. Komunikasi pasar berlangsung melalui transaksi dengan harga sebagai message-nya, sementara negara mengandalkan kepada otoritas dan power. Pasar memiliki legitimasi perhitungan komersial (comercial imperative), bukan berupa imbauan moral (moral imperative). Implikasinya, petani memenuhi tuntutan pasar dengan pragmatis, sedangkan untuk himbauan pemerintah (misalnya himbauan untuk berorganisasi) dipenuhi sesuai dengan tingkat pemaksaan yang dirasakan. “Pemaksaan” berorganisasi melekat pada prosedur, dimana hanya melalui organisasi bantuan dari pemerintah bisa diterima oleh petani.
Bagi petani, aktivitas bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah memberi cukup pedoman dan kesempatan. Dengan kegiatan yang harus dijalankan dan pilihan yang harus diambil, tanpa berorganisasipun petani merasa telah dapat menjalankan hidupnya. Intinya, bagi petani, organisasi bukan lah social form yang dipandang lebih efektif dalam kehidupan sosial. Bagi petani organisasi bukan bentuk yang efektif.
Sebagi aktor yang rasional-kreatif realitas organisasi bagi petani adalah bahwa organisasi sebagai wadah untuk berinteraksi dengan pemerintah, sebagai suatu prosedur yang harus dipenuhi untuk mengkases bantuan dari pemerintah, sebagai jalan untuk terlibat dalam pembangunan, dan agar dianggap sebagai masyarakat yang partisipatif. Secara internal, organisasi juga dimaknai sebagai jalan untuk mengkolektifkan kegiatan secara horizontal. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi, menjadi pertimbangan petani untuk bertindak - atau tidak bertindak - sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif).
Relasi Sosial Individual Sebagai Inti Pengorganisasian Diri Petani
Sebagian besar petani saat ini menjalankan usaha agribisnis yang dikelolanya dengan menjalin relasi-relasi yang berbentuk “relasi individual” (individual social relation) dengan berbagai mitra kerjanya, baik dengan pemasok input usaha, butuh tani, dan pedagang pengumpul. Petani membuat keputusan untuk berelasi dengan sejumlah aktor lain secara pribadi, tanpa melibatkan kelompoknya. Selanjutnya, petani juga melakukan transaksi dan menjaga relasi yang dibangun tadi juga dalam konteks keputusan individual.
Relasi-relasi individual tidak mengandalkan kepada organisasi atau orang lain. Dalam konteks ini, petani sebagai aktor sosial (social actor) tidak mewakilkan relasinya kepada pihak lain. Hal ini tidak sebagaimana gambaran tindakan keloktif, dimana aktor mewakilkan tindakannya ke orang lain. Tindakan individual (individual action) merefer kepada tindakan yang diambil oleh seseorang yang idasarkan atas putusannya sendiri.
Ada banyak alasan pokok mengapa petani lebih memilih tindakan atau relasi individual. Alasan yang sangat masuk akal adalah karena ketersediaan relasi dimana pelayanan untuk berusahatani sudah cukup memadai. Saat ini petani dengan mudah dapat membeli benih, pupuk dan berbagai kebutuhan lain dari kios-kios yang menjualnya di desa maupun di pasar terdekat. Petani dapat membayar tunai ataupun berhutang (pola “yarnen”) terhadap barang yang dibelinya. Demikian pula untuk kebutuhan lain, misalnya memperoleh air irigasi, mendapatkan buruh tani dan menjualkan hasil panennya.
Dengan demikian, petani yang menggunakan relasi individual dapat dipandang sebagai hal yang rasional. Ke depan, jika pelayanan ekonomi untuk usaha pertanian semakin mudah diakses petani, maka tipe relasi ini bisa semakin berkembang.
Selain itu, alasan lain adalah karena kondisi organisasi yang belum mampu mewadahi semua kebutuhan petani. Lemahnya organisasi ini salah satunya karena semangat tindakan kolektif yang rendah. Sebagaimana dalam teori, musuh utama sulitnya mencapai tindakan kolektif adalah sikap penunggang bebas (free rider). Fenomena ini juga banyak ditemui dimana maju mundurnya organisasi cenderung diserahkan kepada pengurus saja.
Dalam kehidupan organisasi, beberapa relasi merupakan relasi yang sifatnya hanya pendukung atau merupakan relasi yang tak langsung, misalnya berupa rapat-rapat untuk menyusun perencanaan. Sementara dalam pasar relasi bersifat langsung. Semua relasi sosial yang berlangsung di pasar adalah relasi langsung belaka, dan tak ada yang percuma. Sebagai contoh, petani menghubungi seorang pedagang untuk memberitakan bahwa ada gabah yang mau dijualnya, dan langsung menegosiasikan harga. Relasi ini bersifat tuntas dan ringkas.
Bahkan adakalnya sebagian petani menggunakan organisasi untuk mendukung tujuan-tujuan individualnya. Hal ini terjadi pada pengurus organisasi, yang karena kewenangan yang dimilikinya dalam organisasi, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan relasinya dengan berbagai pihak. Posisi sebagai ketua Gapoktan memberi keuntungan yang banyak karena posisinya yang sentral, dan dapat pula berkomunikasi secara intensif dengan banyak staf pemerintah. Sebagaimana dijelaskan di bagian lain, sumber daya dari pemerintah merupakan sumber daya utama yang menggerakkan kegiatan pertanian di desa penelitian.
Lembaga cukup bagi petani untuk mengorganisasikan dirinya. Lembagalah - bukan organisasi – yang menjadi pedoman dan basis dalam membangun sejumlah relasi sosial bagi petani untuk menjalankan usahanya. Meskipun ada belasan organisasi dalam satu desa, tapi hampir semua relasi yang dijalankan petani, merupakan relasi individual, bukan suatu tindakan kolektif yang diwakilkan kepada organisasi.
Kondisi ini memungkinkan, sebagaimana pengalaman Lobo (2008) dalam kegiatan lapangan, karena lembaga mampu dan lalu menjadi penting karena ia menentukan dan membentuk bagaimana proses pertukaran dan intekasi sosial, politik, kultural  dan ekonomi berlangsung. Lembaga juga menetapkan batasan pilihan (range of choices), pengaturan resiko dan ketidakpastian, dan menentukan biaya transaksi dan produksi. Lebih jauh, ia juga mempengaruhi feasibilitas dan keuntungan dalam aktivitas ekonomi. Lembaga bahkan “…. evolve incrementally, linking the past with the present and future”. Lembaga mampu menghubungkan masa lalu, sekarang dan masa depan. Lembaga menentukan bagaimana insentif akan terbagi dalam masyarakat: siapa mendapat apa dan berapa banyak.
Organisasi bersama lembaga menjadi sumberdaya dalam pengorganisasian diri petani. Petani menggunakan organisasi sebagai salah satu sumber daya, sebagaimana sumber daya lainnya dalam lembaga. Berlangsung proses yang saling mencampurkan (interplay) antara aspek regulatif, normatif dan kultural kognitif dengan organisasi formal.
Lebih jauh, petani telah memberikan makna yang sama sekali baru terhadap organisasi, yang sungguh berbeda sebagaimana diinginkan oleh pemerintah. Bagi petani, organisasi dijadikan modal dalam membentuk dan menjaga relasi dengan aparat pemerintah. Petani tidak memberikan sikap resistensi - namun justeru kooperatif - dan malah tetap mampu menarik manfaat dari relasi tersebut.
Dengan demikian, yang lebih dibutuhkan adalah pengorganisasian petani dalam makna luas. Insentif untuk berorganisasi secara formal lemah, karena selain pembentukan organisasi membutuhkan keterlibatan yang cukup menyita waktu, pelayanan untuk menjalankan usaha telah cukup tersedia di desa. “Organisasi” yang dibutuhkan bercirikan sebuah bangunan sosial yang mampu memberikan akses petani terhadap segala kebutuhannya. Organisasi ini mampu membantu berbagai hambatan yang dihadapi petani dan mitranya misalnya pedagang kecil lokal, dalam hal pengetahuan dan keterampilan, teknologi dan kualitas produk, skala ekonomi, biaya transaksi yang mahal, dan rendahnya akses ke permodalan.
PENUTUP
 
Berdasarkan analisis kelembagaan, dimana relasi sosial menjadi inti perhatiannya, petani menjalankan usahanya (mengorganisasikan dirinya) melalui pola-pola yang tidak kaku sebagaimana organisasi formal saja. Bagi petani, organisasi formal hanyalah satu pilihan, dan bahkan lebih menjadikan tindakan individual (individual action) sebagai bentuk yang pokok.  
Petani menjalankan usaha pertaniannya melalui pedoman norma dan regulasi, dengan melakukan pemaknaan aktif terhadapnya. Petani menjalin relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak dengan berpedoman kepada panduan normatif komunitas, norma ekonomi dalam pasar, dan relasi dengan petugas pemerintah. Dalam kondisi ini, organisasi formal (kelompok tani, koperasi, Gapoktan, dan lain-lain) hanyalah salah satu sumber daya bagi petani yang bersama-sama unsur-unsur dalam lembaga dijadikan sebagai peluang, pedoman, serta batasan untuk berperilaku sehari-hari.
Organisasi formal yang diintroduksikan pemerintah dimaknai dan direspon dalam kerangka lembaga tersebut. Salah satu responnya adalah dimana organisasi petani hanya dijalankan sejumlah kecil pengurus, dan eksistensi organisasi hanya mengandalkan pada mereka, sehingga berlangsung gejala “individualisasi organisasi”. Pola manajemen organisasi seperti ini meniru bentuk pengorganisasian masa lalu yang memberikan kewenangan dan peran pada seseorang saja (=“pengorganisasian secara personal”). Fenomena ini  biasa ditemukan pada pengelolaan irigasi skala kecil yang disebut dengan Ulu-Ulu di Jawa Barat, Kapalo Banda di Sumatera Barat, dan Klian Subak di Bali, yang merupakan sebuah “individual autonomous”. Seseorang yang ditunjuk diberi wewenang penuh untuk mengelola irigasi, dan berhak menetapkan bagaimana pembagian air, menyusun rencana, termasuk membuat keputusan untuk mengundang petani dalam berbagai kepentingan.
Dengan segala permasalahan dan pilihan yang mereka hadapi, relasi individual yang berbasiskan komunitas dan pasar terbukti lebih banyak dipilih petani. Temuan ini sedikit banyak dapat menjadi catatan, bahwa selain relasi individual ini perlu diperhatikan, petani dengan ciri seperti ini membutuhkan bangun organisasi yang berbeda. Relasi-relasi berbasis pasar pada hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Di dalamnya juga dijumpai pelaku-pelaku yang dapat dibatasi secara sosial, relasi-relasi dan struktur relasi yang terpola, norma yang dipegang dan dijaga bersama (meskipun tidak tertulis), serta transaski yang murah dan efektif. Namun, bentuk pengorganisasian berbasis pasar tidak selalu lebih baik. Bagaimana bentuk pengorganisasian yang sesuai bergantung pada kompleks norma, aturan, serta kultural kognitifnya yaitu bagaimana petani memahami kondisi yang dihadapinya.
Sikap pemerintah selama ini yang menjadikan organisasi formal sebagai satu-satunya jalan untuk menggerakan dalam pemberdayaan, merupakan pendapat yang sudah waktunya direvisi. Selain bahwa anjuran ini kurang disukai petani, pemaksaan ini berdampak kepada banyak masalah di lapangan, misalnya berlangsungnya kebohongan administratif, program yang tidak efektif mencapai petani yang semestinya, dan membuat manfaat pembangunan kurang terdistributif secara adil. Pemberian bantuan kepada masyarakat yang menurut aturan hanya dapat diberikan kepada organisasi formal semestinya ditiadakan, karena tidak akan mampu mencapai petani-petani kecil dan miskin yang sesungguhnya jauh lebih membutuhkan. Pengorganisasian petani tanpa harus berada dalam organisasi formal adalah implikasi yang masuk akal sebagaimana temuan dan analisis dalam penelitian ini.
Sesuai dengan pendekatan Teori Kelembagaan Baru, organisasi petani dalam bentuk formal semata-mata mestilah hanya dipandang sebagai pilihan. Untuk berjalannya pembangunan  pertanian, atau aktivitas agribisnis khususnya, yang dibutuhkan adalah pengorganisasian petani (dalam makna luas) yang efektif. Setiap transaksi dapat dijalankan dengan biaya murah, dan tersedia jaringan antar pelaku dengan bentuk terpola sehingga dapat menjadi wadah yang dapat diakses petani dengan mudah. Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan kolekif lebih murah dan efektif. Namun, dalam kondisi lingkungan kelembagaan yang baik, tanpa tindakan kolekif tetap mampu dicapai kemudahan. Dengan demikian, perbaikan ke depan dapat melalui aras lembaga (dan kelembagaan) maupun melalui aras organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Beard, Victoria A. and A. Dasgupta. 2006.  Collective Action and Community-driven Development in Rural and Urban Sage Publication and Urban Studies Journal Limited. http://usj.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/9/1451
Blom-Hansen, J. 1997. A ‘New Institutional’ Perspective On Policy Networks, Public Administration 75: 669–693.
Brewer, Jeffrey D. 1985. Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijakan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur (hal. 163 – 188). Dalam: Michael R. Dove (ed). (1985). Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bourgeois, R; F. Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).
Branson, J. and D. Miller.  Pierre Bourdieu. Hal. 43-57. Dalam: Peter Beilharz. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Chamala, S and P.M. Shingi. 2007. Chapter 21 - Establishing and strengthening farmer organizations. FAO. http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0n.htm.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.
Dimaggio, P. J. and W.W. Powell. 1991. The New Institutionalism In Organizational Analysis. Chicago: University of Chicago Press.
Fafchamps, Marcel. 2007. Global Poverty Research Group. 2007. Trade and Social Capital. http://www.gprg.org/themes/t4-soccap-pub-socsafe/sc-uses/trade-sc.htm, 20 agustus 2007
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Granovetter, M. 2005. The Impact of Social Structure on Economic. Journal of Economic Perspective 19(1): 33–50.
Grootaert, C and T. van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative Working Paper No. 24. Washington, D.C: The World Bank.
Hayami, Y dan T. Kawagoe. 1993. The Agrarian Origins of Commerce and Industry: A Study of Peasant Marketing In Indonesia. St. Martin's Press. Singapore.
Hellin, J.; M. Lundy; and M. Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67, October 2007.  Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.
Hutahaean, L.; R.H. Anasiru; dan I.G.P. Sarasutha. 2010. Analisis Kelayakan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan di Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian. Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Jackson, K.D. and L.W. Pye (eds). 1978. Political Power and Communications in Indonesia. University of California Press. Berkeley, LA, and London.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan.
Koentjaraningrat. 1974.  Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Aksara Baru.
Lema, N.M. and B.W. Kapange. 2006. Farmers’ organization and Agriculture Innovation in Tanzania. Dalam: www.kit.nl
Lobo, C. 2008. Institutional And Organizational Analysis For Pro-Poor Change: Meeting IFAD’s Millennium Challenge. A sourcebook. Rome: IFAD. www.ifad.org/english/institutions/sourcebook.pdf. 8 Januari 2013.
Lipton, Michael. 1977. Why Poor People Stay Poor: A Study Of Urban Bias In World Development. Harvard University Press, 1977 - 467 pages
March, J.G. and J.P. Olsen. 1984. The New Institutionalism: Organizational Factors in Political Life. American Political Science Review 78 (3): 734-749.
Martinussen, J.  1997.  Society, State, & Market:  A Guide To Competing Theories of Development.  Danish Association for International Co-operation.  Copenhagen.
Nee, Victor. 2005. The New Institutionalism in Economics and Sociology. In: The Handbook of Economic Sociology. 2nd ed. Niel J. Smelser dan Richard Swedberg (eds.) Princeton University Press.
North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/ laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.
Nordholt, N.S. 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Nurmanaf, R.; E.L. Hastuti; H. Tarigan; dan Supadi. 2033. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 171 hal.
Pakpahan, Agus. 2004. Mengapa Kita Tertinggal? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat. Majalah Analisis Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hal 101-118.
Peraturan Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani.
Perera, Jayantha. 2004. Farmer’s Behaviour in Rice Irrigation in Monsoon Asia: Facts and Fallacies. South Asia Economic Journal. 5/145, 2004.
Portes, Alejandro. 2006. Institutions and Development: A Conceptual Reanalysis. Population and Development Review 32 (2): 233–262.
Putra, HAS. 1988. Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan. Gadjah Mada University Press.
Robbins, Lionel. 2005. Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change. (http://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/ events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005).
Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda E.M. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.
Scott, Richard W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.
Scott, Richard W. 1995. Institutions and Organizations Foundations for Organizational Science: Foundations for Organizational Science. A Sage Publications Series. Sage Publications, Inc.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal. 
Shanin, T. 1990. Defining peasants: Essays concerning rural societies, expolary economies, and learning from them in the contemporary world. Top of Form Oxford, UK and Cambridge, MA, USA.
Stockbridge, M., A. Dorward, and J. Kydd. 2003. Farmer organizations for market access: A briefing paper. Wye Campus, Kent, England: Imperial College, London.
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Forum Agro Ekonomi Vol. 16 No.1, Juli 1998.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.
Syahyuti. 2010. Lembaga dan Organisasi Petani Dalam Pengaruh Negara Dan Pasar Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 28 No.1 Tahun 2010. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2012. Pengorganisasian Diri Petani  Dalam  Menjalankan Agribisnis Di Pedesaan: Studi Lembaga Dan Organisasi Petani Dalam Pengaruh Negara Dan Pasar. Disertasi Universitas Indonesia, Depok.
Teken, I B. l988. Irigasi subak di Bali. Dalam Irigasi, Kelembagaan dan Ekonomi, Jilid II, Gramedia, Jakarta).
Temple, G.P. 1976. Mundurnya Involusi Pertanian: Migrasi, Kerja dan Pembagian Pendapatan di Pedesaan Jawa. Prisma No. 3 April 1976.
Tjondronegoro, SMP dan G. Wiradi. (Eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Penerbit  Gramedia, Jakarta. 344 halaman
Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Social Organization and Planned Development in Rural Java: A Study of the Organizational Phenomenon in Kecamatan Cibadak, West Java and Kecamatan Kendal, Central Java, Singapore: Oxford University Press.
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Wahono, Francis. 1994. Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 tahun Revolusi Hijau. (pp. 3-21) Majalah Prisma No. 3 Maret 1994.
White, Ben.  1997. Agroindustry And Contract Farmers In Upland West Java. Journal of Peasant Studies. Volume 24, Issue 3, 1997.
Wijayaratna, C. M. 1993. Impacts of the Institutional System on the Participants and on Irrigation Performance: A Note for Discussion. In Charles L. Abernethy (ed). The Institutional Framework for Irrigation. Proceedings ofa Workshop Chiang Mai, Thailand. 1-5 November, 1993. German Foundation For International Development International Irrigation Management Institute Royal Irrigation Department Of Thailand
Wijayaratna, C.M. 2002. Role of Local Communication and Institution in Integrated Rural Development. APO Seminar, Asian Productivity Organization. 2004.
World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. Worl Bank, US. http://econ.worldbank.org/ 
*******