(dari wikipedia)
Organisasi berasal dari bahasa Yunani: ὄργανον, organon yang bermakna sebagai "alat". Organisasi adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah unt tujuan bersama. Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis).
Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu sama lain, dan ada pula yang berbeda.Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
Definisi "organisasi" menurut beberapa ahli:
-Stoner = organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama.
-James D. Mooney = organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.
-Chester I Bernard = organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
-Stephen P. Robbins = Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat. Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran.
Orang-orang yang ada di dalam suatu organisasi mempunyai suatu keterkaitan yang terus menerus. Rasa keterkaitan ini, bukan berarti keanggotaan seumur hidup. Akan tetapi sebaliknya, organisasi menghadapi perubahan yang konstan di dalam keanggotaan mereka, meskipun pada saat mereka menjadi anggota, orang-orang dalam organisasi berpartisipasi secara relatif teratur.
Lembaga dan organisasi satu bidang yang sangat membingungkan. Beberapa penjelasan dan kutipan tentang ini mudah-mudahan sangat membantu.
Kamis, 30 Desember 2010
analisis kelembagaan
Analisis kelembagaan (institutional analysis) adalah bagian dari ilmu sosial yang mempelajari bagaimana lembaga ( institutions) yakni struktur dan mekanisme dari keteraturan sosial dan kerjasama membentuk perilaku dua sampai lebih orang. Disini juga dipelajari bagaimana individual dan kelompok-kelompok membentuk lembaga, bagaimana lembaga berjalan, dan apa efek dari lembaga pada masyarakat.
paham kelembagaan baru (Scott, 2008)
Menurut Scott (2008: 36), teori kelembagaan baru (neoinstitutional theory) adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 elemen analisis yang membangun kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka berkerja dalam kombinasi. Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-cognitif.
Dari penelusuran inilah Scott merumuskan kelembagaan sebagai: “institution are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk bertindak, sekaligus batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan adalah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan (order), tapi mereka pun berubah. Kelembagaan adalah property sekaligus proses. Dalam pendekatan kelembagaan baru dipelajari apa tipe-tipe dan bentuk-bentuk kelembagaan yang mendorong lahirnya organisasi formal. Hal ini berkaitan dengan hambatan struktural dan kultural (kontrol) versus kemampuan atau keberanian individu untuk bertindak kreatif (make difference).
Lebih jauh, Scott (2008) menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru. Pertama, pilar regulatif (regulative pillar), yang berkerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal (folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion).
Kedua, pilar normatif (normative pillar) dengan tokohnya adalah Durkheim, Parson, dan Selznick. Dalam pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives), serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis (historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori ”kelembagaan yang asli”.
Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive pillar) dengan tokohnya adalah Geertz, Douglass, Berger dan Luckmann, Goffman, Meyer, DiMaggio, Powel, dan juga Scott. Inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning) dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social institution).
Pilar kognitif dalam kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan. Meskipun Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh utama yang membangun fondasi kerangka teori sosiologi pengetahuan, namun sosiologi pengetahuan semakin memperoleh perhatian karena sumbangan Berger dan Luckmann. Secara konseptual, sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon untuk menyempurnakan ilmu-ilmu sosial yang dinilai masih mengadopsi ilmu alam. Paradigma positivistiknya dianggap kurang mampu menggali sisi humanistik manusia.
Dari penelusuran inilah Scott merumuskan kelembagaan sebagai: “institution are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk bertindak, sekaligus batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan adalah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan (order), tapi mereka pun berubah. Kelembagaan adalah property sekaligus proses. Dalam pendekatan kelembagaan baru dipelajari apa tipe-tipe dan bentuk-bentuk kelembagaan yang mendorong lahirnya organisasi formal. Hal ini berkaitan dengan hambatan struktural dan kultural (kontrol) versus kemampuan atau keberanian individu untuk bertindak kreatif (make difference).
Lebih jauh, Scott (2008) menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru. Pertama, pilar regulatif (regulative pillar), yang berkerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal (folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion).
Kedua, pilar normatif (normative pillar) dengan tokohnya adalah Durkheim, Parson, dan Selznick. Dalam pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives), serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis (historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori ”kelembagaan yang asli”.
Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive pillar) dengan tokohnya adalah Geertz, Douglass, Berger dan Luckmann, Goffman, Meyer, DiMaggio, Powel, dan juga Scott. Inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning) dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social institution).
Pilar kognitif dalam kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan. Meskipun Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh utama yang membangun fondasi kerangka teori sosiologi pengetahuan, namun sosiologi pengetahuan semakin memperoleh perhatian karena sumbangan Berger dan Luckmann. Secara konseptual, sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon untuk menyempurnakan ilmu-ilmu sosial yang dinilai masih mengadopsi ilmu alam. Paradigma positivistiknya dianggap kurang mampu menggali sisi humanistik manusia.
kelembagaan baru di bidang ilmu ekonomi
Douglass C. North (1993) sebagai tokoh ekonomi kelembagaan baru, menyebut bahwa kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal (formal constraints) berupa rules, laws, dan constitutions; dan aturan informal (informal constraints) berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan penentu bagaimana terbentuknya struktur masyarakat dan kinerja ekonominya yang spesifik.
North juga melakukan pembedaan antara institution dengan organization. Jika institution adalah “the rules of the game”, maka organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Yang disebut sebagai organizations adalah organisasi politik (misalnya partai politik, DPR, dan dewan kota), organisasi ekonomi (perusahaan, satuan-satuan perdagangan, kooperasi), organisasi sosial (gereja, klub-klub), dan organisasi pendidikan (sekolah, universitas, tempat pelatihan).
Tidak berbeda dengan North, menurut Lionel Robin (2005), institutions adalah “the rules of the game in economic, political and social interactions”. Ia merupakan wadah atau lingkungan dimana organisasi-organisasi hidup. (“Institutions determine social organization”).
North juga melakukan pembedaan antara institution dengan organization. Jika institution adalah “the rules of the game”, maka organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Yang disebut sebagai organizations adalah organisasi politik (misalnya partai politik, DPR, dan dewan kota), organisasi ekonomi (perusahaan, satuan-satuan perdagangan, kooperasi), organisasi sosial (gereja, klub-klub), dan organisasi pendidikan (sekolah, universitas, tempat pelatihan).
Tidak berbeda dengan North, menurut Lionel Robin (2005), institutions adalah “the rules of the game in economic, political and social interactions”. Ia merupakan wadah atau lingkungan dimana organisasi-organisasi hidup. (“Institutions determine social organization”).
logika kelembagaan (Thornton and Ocasio, 1999)
Menurut Thornton and Ocasio (1999: 804), logika kelembagaan (institutional logics) adalah:
".... ‘the socially constructed, historical patterns of material practices, assumptions, values, beliefs, and rules by which individuals produce and reproduce their material subsistence, organize time and space, and provide meaning to their social reality.’
".... ‘the socially constructed, historical patterns of material practices, assumptions, values, beliefs, and rules by which individuals produce and reproduce their material subsistence, organize time and space, and provide meaning to their social reality.’
lembaga (Friedland and Alford, 1991)
Friedland and Alford (1991) mendefinisikan lembaga (institution) sebagai:
".... as both supraorganizational patterns of activity by which individuals and organizations produce and reproduce their material subsistence and organize time and space. They are also symbolic systems, ways of ordering reality, thereby rendering experience of time and space meaningful".
".... as both supraorganizational patterns of activity by which individuals and organizations produce and reproduce their material subsistence and organize time and space. They are also symbolic systems, ways of ordering reality, thereby rendering experience of time and space meaningful".
Langganan:
Postingan (Atom)